PADA AWALNYA, shalawat atas Nabi dianggap sebagai
doa bagi Nabi, karena kecintaan kepadanya. Akan tetapi dalam
perjalanannya ia kemudian dipandang sebagai puji-pujian dan
penghormatan untuk Nabi yang hidup di samping Tuhan. Praktik ini
memperoleh legitimasi dari kitab suci Al-Qur’an.
Tuhan mengatakan, “Jika engkau mencintai Tuhan,
maka ikutilah Nabi. Maka Tuhan akan mencintaimu," Dan bukan hanya
manusia yang dianjurkan Tuhan untuk membaca salawat (penghormatan)
untuknya, melainkan juga Tuhan sendiri dan para Malaikat. Tuhan
mengatakan :
إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِى يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا صَلُّو عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيْماً
“Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang
yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya.” (Q.S. Al-Ahzab [33]:56).
Shalawat
dianggap syarat penting agar doa dikabulkan. “Permohonan (doa) akan
dianggap berada di luar pintu langit sampai orang yang berdoa itu
mengucapkan shalawat untuk Nabi.”
Penyair Turki abad
pertengahan, Asyiq Pasha, mengingatkan orang-orang senegerinya tentang
eksistensi primordial Nabi Muhammad saw, yang menjadi suatu segi yang
begitu penting dalam profetologi mistikal:
Adam masih berupa
debu dan lempungMuhammad telah menjadi NabiDia telah dipilih
TuhanUcapkan shalawat untuknya(Annemarie, Dan Muhammad adalah Utusan
Tuhan, hlm. 145).
Kaum sufi di manapun berada selalu membaca
shalawat berkali-kali baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam
jama’ah (kumpulan/kelompok), untuk mengantarkan permohonannya kepada
Tuhan. Mereka gemar sekali menyenandungkan do’a shalawat itu dalam
bentuk puisi-puisi yang indah. Annemarie Schimmel, pakar mistisisme
Islam, pengagum berat Ibn Arabi dan Rumi, menginformasikan bahwa di
beberapa kalangan Afrika Utara orang bisa mendatangi
pertemuan-pertemuan shalawat di mana orang itu ikut serta dalam doa
bersama untuk Nabi dan berharap agar permintaan yang diucapkan dalam
pertemuan semacam itu akan segera dikabulkan. Salah satu do’a shalawat
yang popular di sana adalah Doa Pelipur Cordova. (Annemarie, hlm. 143).
“Wahai
Allah, berkahilah dengan berkah yang istimewa tuan kami, Muhammad, yang
olehnya segala kesulitan terpecahkan, segala kesedihan terhiburkan,
segala masalah terselesaikan, yang melaluinya hal yang diinginkan dapat
dicapai dan yang dari air mukanya yang mulia awan meminta hujan, dan
berkahilah keluarganya dan sahabat-sahabatnya”.
Betapa
pentingnya shalawat atas Nabi saw untuk mengawali do’a kepada Tuhan,
mengingatkan saya pada Qasidah Burdah, karya sufi penyair Imam
Bushairi. Bushiri, sastrawan sufi legendaries abad ke 13, menulis
kasidah ini ketika dia mengalami sakit berkepanjangan, stroke.
Sepanjang
hari sepanjang malam dia berdoa sampai begitu lelah dan tertidur. Suatu
malam ia bermimpi bertemu nabi. Nabi yang mulia mengusapkan tangannya
ke wajah Bushairi lalu menyerahkan selendangnya (burdah). Bushairi
terjaga dari mimpinya dan melihat dirinya tak lagi sakit. Semula
kumpulan Nazham (puisi-sajak) dengan akhir huruf mim (karena itu biasa
disebut ; Al-Mimiyah) diberi judul panjang: Al-Kawakib al-Durriyyah fi
Mad-hi Khairi al-Bariyyah (Bintang-Gemintang berpendar gemerlap yang
memuji Manusia Paripurna). Akan tetapi karena terlalu panjang hingga
menyulitkan orang menyebut dan mengingatkannya, maka diambillah kata
“Al-Burdah al-Bushiri” (selimut atau selendang).
Ketika saya di
ke Iskandariyah, Mesir, tahun 1982, saya menyempatkan diri ziarah dan
berdo’a di pusara penyair sufi besar ini, tidak jauh dari makam sufi
besar; Said Mursi. Di pesantren, saya sempat menghapalnya meski serba
sedikit. Tetapi banyak santri yang hapal di luar kepala. Di Universitas
Kairo, kasidah ini diajarkan pada setiap hari Kamis dan Jum’at.
Di
bawah ini adalah beberapa saja dari bait puisi Bushairi yang seluruhnya
berisi 160 bait, yang masih saya hapal. Sebuah Puisi yang
memperlihatkan kerinduan Bushairi kepada Nabi Saw. Kasidah ini
didendangkan dengan bahar(nada dan ritme) Basith : Mustaf’ilun fa’ilun.
أَمِنْ تَذَكُّرِ جِيْرَانٍ بِذِى سَــــلَمٍ مَزَجْتَ دَمْعًا جَرَى مِنْ مُقْلَةٍ بِـــدَمِ
أَمْ هبَّتِ الرِّيْحُ مِنْ تِلْقَاءِ كَاظِمَـــةٍ وأَوْمَضَ الْبَرْقُ فِي الظَّلْمَاءِ مِنْ إِضَـمِ
فَمَا لِعَيْنَيْكَ إِنْ قُلْتَ اكْفُفَا هَمَتَــا وَمَا لِقَلْبِكَ إِنْ قُلْتَ اسْتَفِقْ يَهِــــمِ
أَيَحْسَبُ الصَّبُّ أنَّ الْحُبَّ مُنْكَتِـــمٌ مَا بَيْنَ مُنْسَجِمٍ مِنْهُ وَمُضْطَّــــــرمِ
لَوْلَا الْهَوَى لَمْ تُرِقْ دَمْعاً عَلَى طَـلَلٍ وَلَا أرقْتَ لِذِكْرِ البَانِ والعَلــــمِ
فَكَيْفَ تُنْكِرُ حُبّاً بَعْدَ مَا شَــهِدتْ بِهِ عَلَيْكَ عَدُوْلُ الدَّمْعِ وَالسَّــــقَمِ
وَأَثْبَتَ الوَجْدُ خَطَّيْ عَبْرةٍ وَضَــنىً مِثْلَ البَهَارِ عَلى خَدَّيْكَ وَالْعَنَــــمِ
نَعَمْ سَرَى طَيْفُ مَنْ أَهْوَى فَأَرَّقَـنِي وَالْحُبُّ يَعْتَرِضُ اللَّذَّاتَ بِالْأَلَــــمِ
يَا لَائِمِي فِي الْهَوَى الْعُذرٍيِّ مَعْذِرَةً مِنِّي إِلَيْكَ وَلَوْ أَنْصَفْتَ لَمْ تَلُــــمِ
Aduhai, apakah karena kau rindu
pada tetangga di kampung Dzi Salam
Air bening menetes satu-satu
Dari sudut matamu
Bercampur darah
Ataukah karena semilir angin
yang berhembus
dari Kadhimah
Dan kilatan cahaya
dalam pekat malam
Apakah kekasih mengira
Api cinta yang membara di dada
Dapat dipadamkan air mata?
Andai bukan karena cinta
Puing-puing tak mungkin basah airmata
Andai bukan karena cinta
Matamu tak mungkin jaga sepanjang malam
Membayangkan keindahan gunung gemunung
Dan semerbak pohon kesturi
Dan tinggi semampai pohon pinus
Mana mungkin kau ingkari cintamu
Padahal ada saksi menyertaimu
Ketika air matamu berderai-derai
Dan kau jatuh sakit begitu memelas
Dukamu menggoreskan
Tetes air mata dan luka
Bagai mawar kuning dan merah
Pada dua pipimu yang ranum
Ya, aku melihat kekasihku
Berjalan ketika malam muram
Hingga mataku selalu terjaga
Cinta telah mengganti riang jadi nestapa
Seluruh do’a, dzikir dan shalawat
atas Nabi ditujukan kepada Allah, hanya kepada Dia, tidak kepada yang
lain, termasuk tidak kepada Nabi Muhammad Saw. Karena hanya Dialah
Pemilik segala, hanya Dialah Penguasa atas semesta raya dan hanya
Dialah Yang mengabulkan segala permohonan hamba-hamba-Nya.
Dialah
Titik Pusat dari segala. Pengaduan kepada manusia, siapapun dia, akan
kegundahan dan curahan hati karena kemelut hidup yang acap kali datang
menghempaskan jiwa dan pikiran, seringkali mengecewakan. Mereka tak
mampu memberi jalan terang, dan tak bisa menjawab kebutuhan-kebutuhan
yang terus dan terus mengalir bagai air yang sangat deras. Mereka
acapkali juga sibuk dengan urusan dan kegalauannya sendiri-sendiri.
Mereka juga membutuhkan kepentingan hidup yang juga terus mengejar
mereka siang dan malam. Tetapi tidak bagi Tuhan. Dia tidak membutuhkan
apa-apa dan siapa-siapa. Sebaliknya Dialah Yang selalu Memberi. Dia
bahkan amat senang jika hamba-hamba-Nya meminta.
Gus Dur
pastilah sangat mengenal bait-bait puisi Burdah al-Bushiri di atas,
bahkan sebagian atau semuanya mungkin dihapal dengan baik. Saya
meyakini hal itu pada Gus Dur, karena kedua Qasidah Burdah di atas amat
popular di kalangan para santri.
Mereka menghapalnya lalu
mendendangkannya dengan nada-nada lagu yang indah dalam acara-acara
yang relevan. Hal yang sama juga dilakukan mereka dalam Burdah Madaih
atau Na’tiyah, karya Ka’ab bin Zuhair. Burdah ini berisi penghormatan
dan pujian kepada Nabi. Ia dikenal dengan Qasidah “Banat Su’ad”
(putri-putri Su’ad). Ini karena Qasidah Burdah yang terdiri dari 58
bait ini diawali dengan kalimat :
بانتْ سُعادُ فقلبي اليومَ متبولُ ... مُتيمٌ إثرها، لْم يُفدَ مكبُولُ
Ka'ab
Bin Zuhair, adalah seorang penyair terkenal pada masanya. Ia suka
sekali mencacimaki Nabi. Sikap itu membuat hidupnya jadi galau. Ia lalu
menemui Nabi dan menyanyikan kasidah tersebut di hadapan beliau. Nabi
begitu senang mendengarnya, lalu memberinya selendang (burdah) yang
sedang dikenakannya. Kiai Sa’id Aqil Siraj, ketua umum PBNU, sering
menyanyikan puisi-puisi ini manakala memberikan pengajian umum di
berbagai pesantren dan pada komunitas warganya: Nahdlatul Ulama. Ia
hapal di luar kepala kedua qasidah burdah itu.
Sebagian orang,
sebut saja antara lain kelompok Wahabi di Saudi Arabia, menyebut
“tawassul” dengan salawat seperti ini sebagai praktik kemusyrikan
(menyekutukan Tuhan). Tawassul, menurut mereka berarti meminta kepada
manusia, meskipun ia seorang Nabi dan kekasih-Nya, bukan kepada Tuhan.
Kita telah maklum Wahabi adalah kelompok tekstualis. Mereka memaknai
segala teks secara harfiyah, dan tidak setuju dengan pemaknaan
metaforis (majaz) dan aforisme-aforisme sufistik. Biarkan saja, tak
mengapa. Itu hak mereka. Dan itu menunjukkan batas pengetahuan mereka.
Tetapi kita tentu amat menyesalkan bila kemudian mereka memaksakan
pandangannya kepada orang lain, melalui cara-cara kekerasan, “hate speech” atau bahkan dengan menghunuskan pedang atau meledakkan bom.
Tawassul
dan do’a-do’a Gus Dur itu kini telah menyebar di mana-mana, dikasetkan
, di CD kan, di Youtube kan, atau disimpan di HP, diputar
berulang-ulang, didengarkan dengan penuh khusyu’ di kendaraan-kendaraan
pribadi, dan dilantunkan para pengagumnya di berbagai kesempatan
menghormat atau mendiskusikan Gus Dur. Beliau menyanyikannya dengan
nada-nada elegi dini yang sendu, bagai sembilu yang menyayat-nyayat
qalbu. Bait-bait do’a, salawat dan tawasul yang disenandungkan Gus Dur
itu sesungguhnya tidaklah asing bagi para santri. Ia telah berabad
ditembangkan di pesantren-pesantren dan surau-surau. Suara Gus Dur
memang tak semerdu suara Hadad Alwi atau Abdul Halim Hafiz, penyanyi
kondang dari Mesir atau lainnya. Tetapi lantunan Gus Dur, meski
bersahaja, terasa memiliki makna keindahan mitis dan magis yang
menghunjam qalbu dan menyimpan rindu-rindu. Ini tentu karena Gus Dur
melantunkannya dengan suara hatinya yang bening dan ketulusan cintanya
yang penuh.
Di bawah ini adalah doa-doa yang selalu dibaca Gus
Dur di samping do’a-do’a yang lain. Semua orang pesantren dan kaum
Nahdliyyin mungkin sudah tahu atau bahkan hapal doa-doa itu. Doa-doa
ini seluruhnya mengandung permohonan ampunan Tuhan. Do’a pertobatan
yang secara literal berarti kembali kepada Tuhan. Ada juga di dalamnya
yang memohon petunjuk ke arah jalan lurus (amal saleh) dan anugerah
ilmu yang bermanfaat. Sebagian ada yang diawali dengan tawassul melalui
Al-Musthafa, Nabi Muhammad Saw. Doa yang terakhir konon ditulis oleh
Abu Nawas, sang cendikiawan dan sastrawan terkemuka yang jenaka tetapi
amat cerdas itu. Hampir semua orang mengenal cerita-cerita jenaka orang
ini dan mendongengkannya kepada anak-anak mereka, terutama menjelang
tidur. Ia, ketika muda, konon, pernah menjalani kehidupan glamor, mabuk
dan urakan, tetapi cara itu kemudian disadarinya akan mencelakakannya
kelak. Tahun-tahun terakhir hidupnya Abu Nawas bertobat dan menjalani
hidupnya sebagai seorang zahid, asketik.
Dengan doa-doa itu,
kita tentu paham bahwa Gus Dur selalu mohon ampunan kepada Tuhan. Para
Nabi, orang-orang arif, kaum sufi dan orang-orang yang rendah hati
setiap hari mohon ampunan-Nya, ratusan dan ribuan kali.
Doa Pertobatan 1
مَوْلاَىَ صَلِّ وَسَلِّمْ دَائِمًا اَبَدًا
عَلَى حَبِيْبِكَ خَيْرَ الْخَلْقِ كُلِّهِمِ
يَا رَبِّ بِالْمُصْطَفَى بَلِّغْ مَقَاصِدَنَا
وَاغْفِرْ لَنَا مَا مَضَى يَا وَاسِعَ اْلكَرَمِ
هُوَ الْحَبِيْبُ الَّذِى تُرْجَى شَفَاعَتْهُ
لِكُلِّ هَوْلٍ مِنَ الْاَهْوَالِ مُقْتَحِمِ
Wahai Tuhanku,
Anugerahi kedamaian dan keselamatan
Selama-lamanya
Pada sang kekasih-Mu : Ahmad
Ciptaan-Mu yang terbaik dari semuanya
Berkat al Musthafa, sampaikan maksud-maksudku
Ampunilah dosa-dosa yang lewat
Wahai Yang Maha Mulia
Al-Musthafa, dialah sang kekasih
Pertolongannya diharap-harap
Bagi setiap kegelisahan yang memuncak
Do’a Pertobatan 2
إِلَهِى لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً
وَلَا أَقْوَى عَلَى نَارِ الْجَحِيْمِ
فَهَبْ لِى تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذُنُوْبِى
فَإِنَّكَ غَافِرُ الذَّنْبِ اْلعَظِيْمِ
ذُنُوْبِى مِثْلُ عْدَادِ الرَّمَالِ
فَهَبْ لِى تَوْبَةً يَا ذَالْجَلاَ لِ
وَعُمْرِى نَاقِصٌ فِى كُلِّ يَوْمٍ
وَذَنْبِى زَائِدٌ كَيْفَ احْتِمَالِى
إِلَهِى عَبْدُ كَ اْلعَاصِىِى أَتَاكَ
مُقِرًّا بِالذُّنُوْبِ وَقَدْ دَعَا كَ
وَاِنْ تَغْفِرْ فَأَ نْتَ لِذَاكَ أَهْلٌ
وَاِنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُو سِوَاكَ
Wahai Tuhanku
Aku bukan orang yang pantas tinggal di surga-Mu
Tetapi aku juga tak sanggup di neraka-Mu
Anugerahi aku kemampuan kembali pada-Mu
Dan ampuni dosa-dosaku
Karena hanya Engkaulah
Satu-satunya yang bisa memberi ampun
dosa-dosa besar
Dosa-dosaku bak jumlah butir pasir di bumi
Anugerahi aku kemampuan kembali pada-Mu
Wahai Yang Maha Agung
Umurku berkurang setiap hari
Tetapi dosaku bertambah-tambah saja
Bagaimana aku sanggup menanggungnya
Wahai Tuhanku,
Hamba-Mu yang berdosa
Telah datang, telah datang
Mengakui begitu banyak dosa
Dan ia telah sungguh-sungguh meminta-Mu
Bila Engkau mengampuniku
Karena hanya Engkaulah yang bisa mengampuni
Tetapi bila Engkau menolakku
Kepada siapa lagi aku bisa berharap
Do’a (3)
Pertobatan, Amal saleh dan Ilmu Yang bermanfaat
أَسْتَغْفِرُ اللهْ رَبَّ الْبَرَايَا أَسْتَغْفِرُ اللهْ مِنَ الْخَطَايَ
رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا نَافِعَا وَوَفِّقْنِي عَمَلاً صَالِحَا
Aku mohon ampunan Tuhan
Dari segala kesalahan
Aku mohon ampunan Tuhan
Tuhan seluruh ciptaan-Nya
Tunjuki aku kerja yang baik
Tuhanku,
Tambahi aku pengetahuan yang berguna
Dalam berbagai kesempatan bersama Gus Dur, manakala diminta berdoa, beliau seringkali berdoa ini :
رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً . إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“Wahai
Tuhan kami! Anugerahilah kami rahmat dari sisi-Mu dan tuntunlah kami
pada jalan keselamatan.” (Q.S. al-Kahfi, [18]:10) dan diakhiri dengan
do’a paling popular:
رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Wahai
Tuhan, anugerahi kami kebaikan hidup di dunia dan kebaikan hidup di
akhirat, dan lindungi kami dari siksa neraka”.(Q.S. Al-Baqarah,
[2]:201).
Oleh: Husein Muhammad, Pengasuh Pesantren Dar al-Tauhid Cirebon, Jawa Barat
source: NU ON LINE.CO.ID