,

,

Kamis, 04 September 2014

MELAGUKAN AL-QUR'AN Oleh: KH. Deden M. Makhyaruddin. M.A.



Menurut Imam Asy-Syafii dalam Al-'Umm (6/227), Tidak apa-apa membaca Al-Qur'an menggunakan lagu serta memperindah suara saat membacannya bagaimana pun tekniknya. Lagu pavorit Imam Asy-Syafii, sebagaimana diakuinya dalam Al-Umm, adalah nada yang mengalir membawa rasa sedih karena ingat dosa (melo).

Imam Al-Mawardi dalam Al-Hawi (18/196) menyebutkan, memperindah suara dalam membaca Al-Qur'an dengan mengalir, syahdu, dan menyentuh hati hukumnya sunat.

Bagaimana apabila lagu-lagu (nada dan irama) yang dipergunakan dalam membaca Al-Qur'an itu biasanya diperuntukan untuk selain Al-Qur'an? Maka kata Imam Asy-Syafii sebagaimana disyarahkan oleh Imam Al-Mawardi (17/196), hukumnya mubah selagi tidak merusak lafazh-lafazh Al-Qur'an, seperti menambah atau mengurangi harakat karena terbawa irama, memanjangkan yang pendek, memendekan yang panjang, atau ngajadikan kalimat, kata, dan huruf-hurufnya tidak jelas. Apabila demikian, maka dilarang, yakni haram. Yang membacanya fasiq, dan yang mendengarkannya berdosa.

Imam Abu Ishaq Asy-Syirazi dalam Al-Muhadzdzab (3/444)menambahkan, termasuk melagukan yang haram itu, manjangkan mad melebihi aturan yang baku (riwayat talaqi).

Menurut Imam Nawawi dalam kitab Ar-Raudhah (11/227), termasuk melagukan Al-Qur'an yang haram itu apabila menyebabkan tawallud. Begitu pula menurut Syekh Zakariya Al-Anshari dalam Asnal Mathalib (4/344).

Imam Ibn Hajar Al-Haitami dalam Tuhfah (10/219), membuat standar umum haramnya melagukan Al-Qur'an, yaitu apabila menimbulkan bacaan yang keluar dari qira'at mutawatirah.

Jadi, melagukan Al-Qur'an itu halal, bahkan "sunnat," bagaimanapun tekniknya, yakni meski, hemat saya, dengan lagu kontemporer sekalipun, selama benar cara bacanya sebagaimana diatur dalam ilmu Tajwid dan Qira'at.

Legalitas melagukan Al-Qur'an dari fuqaha melahirkan ilmu seni baca Al-Qur'an yang disebut nagham. Para pelantun Al-Qur'an kemudian tak asing dengan sebutan Bayyati, Rast, Shaba, Sikah, Nahawand, Jiharkah, dan Hijaz, beserta cabang-cabangnya. Namun, sayangnya tak banyak diketahui sejak kapan lagu-lagu itu masuk ke-dalam bacaan Al-Qur'an? Apakah lagu-lagu itu khusus dicipta untuk Al-Qur'an?

Pada awal kemunculannya, lagu-lagu Al-Qur'an tumbuh beriringan dengan perkembangan lagu tradisional Arab. Al-Jahizh (w. 255 H.) dalam Al-Rasa'il Al-Adabiyah (1 : 218) mengatakan, ulama yang pertama kali merumuskan lagu-lagu Arab menjadi sebuah kajian ilmiah adalah Imam Khalil Al-Farahidi (w. 170 H.) dalam kitab Al-Naghm, yang disempurnakan musisi Islam terkemuka Ibrahim Al-Maushili (w. 188 H.).

Ilmu nagham berkembang pesat seiring dengan gerakan penerjemahan buku-buku filsafat Yunani kedalam bahasa Arab di masa Abasiah. Nagham pun, atas prakarsa Al-Farabi (w. 339 H.), berganti nama menjadi Al-Musiq, sebuah kata bahasa Yunani Kuno ciptaan Pytagoras setelah konon katanya belajar kepada Nabi Sulaiman (Raudh Al-Akhyar, 1 : 31).

Abu Al-Faraj Al-Ashfahani (w. 356 H.) melakukan kajian khusus tentang musik Arab dalam Al-Aghani. Menurut risetnya, lagu Arab yang berkembang di Hijaz banyak dipengaruhi unsur Persia, Syam, Iraq, Turki, Romawi, Yunani, dan Suryani melalui musisi-musisi yang berkelana ke negeri-negeri itu, atau budak-budak yang berasal dari sana. Biasanya, lagu-lagu itu dinyanyikan dengan petikan alat musik oad (al-'uud).

Harun Al-Rasyid (w. 193 H.), sebagaimana dilaporkan Abu Al-Faraj, memerintahkan kepada tiga musisi kenamaan Baghdad untuk mengumpulkan irama-irama musik Arab, salah satunya Ibrahim Al-Maushili. Riset mereka menyimpulkan, jumlah lagu Arab itu mencapai seratus (100) lagu (irama). Kemudian terseleksi sepuluh lagu terindah yang kemudian terseleksi lagi tiga lagu yang lebih indah.

Riset-riset berikutnya menemukan jumlah lagu Arab lebih banyak dibanding hasil riset zaman Al-Rasyid. Jumlahnya mencapai 200, bahkan sebagian peneliti menyebutkan ada sekira 350 lagu (irama). Hingga abad kedelapan Hijrah, sebagaimana dalam pengantar Masalik Al-Abshar karya Syihabuddin Al-'Umari (w. 749 H.), ratusan musisi besar Islam terlahir untuk memberikan kontribusi terhadap musik dunia. Terminologi-terminologi seputar musik pun semakin variatif. Termasuk seiring dengan ditemukannya solmisasi (do-re-mi-fa-sol-la-si-do).

Notasi musik, pada mulanya mereka sebut dengan Maqamat, kemudian berganti menjadi Awazah (bahasa Persia), kemudian berganti lagi menjadi Syu'bah seiring ditemukannya rumusan-rumusan baru tentang musik.
Meski semua irama dan notasi musik itu tak berbeda, para musisi Islam berbeda dalam merumuskan notasi dasar (ushul) dan cabang (furu'). Yakni irama mana yang ushul, dan irama mana yang furu', apalagi setelah dikalikan kepada nada asli, rendah, sedang, dan tinggi. Demikian pula, mereka berbeda dalam membuat nama atau sebutan untuk lagu-lagu dan nada-nada itu. Namun apapun namanya, bahasa Persia lebih dominan.

Pada abad kesembilan Hijrah, Ibn Al-Jazari (w. 833 H.) dalam Al-Tamhid (1 : 44) mencatat beberapa penyimpangan membaca Al-Qur'an yang terpengaruh liberalisasi musik, seperti Tathriib, yaitu melagukan Al-Qur'an dengan irama musikis hingga kepanjangan membaca mad atau sebaliknya. Bahkan, dua Abad sebelumnya, dikenal pula sebutan talhiin, yakni melagukan Al-Qur'an secara bebas hingga kehilangan unsur Arabnya (Al-Iqna', 1 : 278).

Teguran ulama Qira'at muta'khkhirin itu menjadi catatan penting bagi para aktivis musik Islam berikutnya agar lagu dapat pergunakan dalam membaca Al-Qur'an. Meski banyak pula yang menolak mentah-mentah dipergunakan dalam Al-Qur'an.

Dari sekian banyak irama Arab ditetapkan beberapa irama dasar yang benar-benar Arabi, fasih dan mengalir apa adanya, hingga hampir tak bisa diukur dengan solmisasi (do-re-mi-fa-sol-la-si-do) karena frekuensinya yang terlalu rumit. Kemudian mereka mengambil konsep Ibn Al-Badisy (w. 540 H.) tentang martabat bacaan TAJWID atau disebut MUJAWWAD, yakni bacaan berirama dengan tempo lambat serta tetap memprioritaskan kaidah bacaan yang benar (Tajwid). Mereka kembali menyebutnya dengan Al-Naghm, bukan Al-Musiq, karena tidak qur'ani.

Ibn Badisy (w. 540 H.) menyinggung, bahwa lagu Arab masa itu berjumlah tujuh. Namun tidak disebutkan nama-namanya. Yang jelas, lagu-lagu itu masih sangat kental dengan unsur non Arab. Hingga menurutnya, irama Al-Qur'an itu adalah irama Arab yang kedelapannya.

Hingga awal abad ke-20 Masehi, lagu-lagu Arab yang menjadi dasar Mujawwad itu memang tujuh, kemudian dibagi berdasarkan thabaqat al-ashwat, yaitu dasar/(ashli), rendah (qarar), sedang (jawab), dan tinggi (jawabul jawab). Karena, mungkin hanya tujuh lagu itu yang bisa dijadikan dasar melagukan Al-Qur'an secara Mujawwad, meski idak jauh kemungkinan akan ditemukan maqaamat tambahan yang lebih 'arabi, atau bahkan berkurang, mengingat pengaruh non Arab yang kian mendominasi. Namun, secara umum, ke-araban Al-Qur'an, dilagukan dengan irama apapun, akan terjaga selama tajwid-nya tidak dilanggar.

Meski ketujuh lagu itu bersifat arabi, tapi nama-nama farisi-nya lebih dominan, karena bisa jadi nama-nama itu terlanjur melekat sejak dahulu, meski sebutan umumnya sudah diubah menjadi Arab, yaitu maqaamat, bukan awaz lagi (Persia).

Nama-nama itu (saya susun tidak berurutan) adalah:
  1. Shaba (shad-ba'- alif), berasal dari bahasa Suryani "Saabaa" (sin-alif-ba'-alif). Artinya, lebih kurang, suara kesedihan.
  2. Nahawand, berasal dari nama sebuah kota di Persia, Nahawand. Orang Barat menyebutnya Minor.
  3. Bayyati, berasal dari bahasa Aramik atau Suryani. Artinya suka cita.
  4. Sikah, barasal dari bahasa Persia. Artinya nada ketiga.
  5. Hijaz, berasal dari bahasa Arab, sebutan untuk wilayah Mekah, Madinah, dan sekitarnya.
  6. Rast, berasal dari bahasa Persia atau Kurdi. Artinya benar dan lurus.
  7. Jiharkah, berasal dari sebuah nama Persia.
Selain itu, terdapat irama selingan (cabang) dari ketujuh lagu itu. Seperti Banjaka, Syuri, 'Ajami, Mahur, Bastanjar, Kard, Karkurd, Naqrisy, Kurd, Murakkab, Mishri, Turki, Raml, 'Iraq, 'Usyaq, Zanjiran (Zinjiran), Syabir 'Alarrast, Kurdi, 'Asyiran, dan lain sebagainya.

Tampak sebagian besar nama di atas merujuk kepada bahasa non Arab atau wilayah luar Arab. Bahkan saya sendiri banyak yang belum tahu artinya. Kitab Masalik Al-Absyar, misalnya, hanya menyebutkan asal bahasanya, bukan pengertiannya, kecuali sedikit. Namun, bagi yang bergelut di bidang nagham, tentu akan menemukan padanan katanya dalam bahasa Eropa seputar musik dengan mudah.

Pada pertengahan abad ke-20 Masehi, di Mesir khususnya, lagu-lagu tradisional Arab itu banyak dikuasai para syeikh Al-Qur'an. Bahkan, penyanyi terkenal Umi Kaltsum pun menguasai irama-irama Arab Tradisional dari guru-guru qira'at. Bukan dari guru-guru musik. Artinya, para musisi Arab berhutang budi kepada seni baca Al-Qur'an yang telah menjaga kemurnian lagu-lagu itu.

Sekira tahun 50-an, Malaysia menjadi negara pertama yang menyelenggarakan kompetisi tilawah Al-Qur'an tingkat Internasional, atau di Indonesia disebut MTQ. Kemudian seni baca Al-Qur'an mengalami lonjakan, termasuk Indonesia. Bahkan menjadi disiplin ilmu tersendiri. Banyak berdiri pesantren takhashush bidang lagu Al-Qur'an. Di beberapa institut Al-Qur'an Jakarta, misalnya, bahkan nagham sudah menjadi mata kuliah sejak lama. Wallaahu A'lam


Postingan Terkait

Widget dari [ Mukelujauh.blogspot.com ]

Ayo Perbanyak Solawat

download win hisab versi 2.96 via ziddu

SARKUB TECH MELEK IPTEK

UNIVERSITAS MENYAN INDONESIA

Santri

PISS - KTB

Total tayangan laman

4