,

,

Selasa, 24 Juli 2012

Ulama ahli falak NU nilai pemerintah gengsi menerima kesaksian Cakung

MAGELANG (Arrahmah.com) - Ulama NU ahli Falak, KH Misbachul Munir Alfalakiy meminta pemerintah dalam menetapkan hasil isbat tidak perlu gengsi.
"Politik dan gengsi. Mengapa sudah melihat bulan saat rukyat hilal ditolak yang di Cakung? Apakah itu sudah betul?" tanya Mbah Munir begitu sapaan akrabnya di Ponpes Marzakul Falakiyah Dusun Semali, Desa Salamkanci, Kecamatan Bandongan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sebagaimana dikutip dari Merdeka.com, Jumat (20/7).
Menurut hitungan Mbah Munir yang didasarkan kitab-kitab Falak yang dipakai para ulama, Perhitungan itu berdasarkan sembilan dari 10 kitab popular ilmu falak yaitu Kitab Nurul Anwar Badingatul Nisa, Kitab Minhajurroh Shoddin, Kitab Arrisalatul Falakhiyakiyah, Kitab Huluhul Wathor, Kitab Umdhatutholib, Kitab Rouful Manan, Kitab Risalatul Khomar dan Kitab Sulamun Naiyreni1 Ramadhan 1433 jatuh pada 20 Juli 2012 , hari Jumat Kliwon.
"Sebelumnya saya sudah tahu 1 Ramadan 1433 jatuh dua hari, Jum'at Kliwon dan Sabtu Legi. Tidak perlu ambil kepusingan tanggal saya 1 Ramadan Jumat Kliwon dengan ketinggian ikwanul rukyat diikmalkan tidak bisa," jelasnya.
Mbah Munir juga menyesalkan pihak pemerintah tidak mengakui hasil rukyat di Cakung. "Kenapa proses melihat hilal ini tidak diakui bahkan dikesampingkan begitu saja? Ini politik dan gengsinya pemerintah dalam sidang isbat kemarin," pungkas Mbah Munir. (bilal/arrahmah.com)

Hilal terlihat di Cakung, 1 Ramadhan 1433 jatuh hari Jum'at

JAKARTA (Arrahmah.com) - Tim rukyatul hilal perwakilan dari Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia, Front Pembela Islam (FPI), dan Al Husniyah telah melihat hilal di pos pemantauan Cakung pada pukul 17.58.
"Telah diambil sumpah empat orang oleh pengadilan Agama Jakarta Timur," kata Ustadz Abu Jibriel mewakili tim rukyatul hilal MMI.
Hilal dikabarkan terlihat di ketinggian 3,5 derajat. Untuk itu, Arrahmah.com yang mendasarkan pada pandangan bahwa awal Ramadhan harus menggunakan rukyatul hilal, mengabarkan kepada kaum Muslimin bahwa 1 Ramadhan 1433 Hijriah jatuh pada hari Jumat (20/7/2012).
Sementara itu, kabar dari pos pemantauan Solo yang dihadiri oleh berbagai ormas Islam menyatakan hilal sulit untuk dilihat.
"Penyebab utama tidak bisa melihat hilal karena terhalang awan tebal. Namun demikian secara perhitungan posisi bulan masih berada pada ketinggian 1,5 derajat, jadi kemungkinan memang belum bisa dilihat," ujar petugas Observatorium PPMI Assalam, AR Sugeng Riyadi.
Data Lajniyah Al-Husniyah Rukyatul Hilal Awal Ramadhan menyatakan saksi-saksi tersebut di antaranya Afriano, H. Muhammad Labib, S.pd.I (28 tahun), Nabil, SS (25 tahun). Data tersebut ditandatangani oleh sekretaris Tim Lajnah oleh H. Lukmanul Hakim, MM.
Sedangkan, sidang itsbat sendiri baru dimulai dan berlangsung di Kementerian Agama RI Jl. MH Thamrin. Sidang sendiri dimulai setelah sholat magrib dan makan malam. Insya Allah akan dikabari kembali dinamika pada persidangan istbat penentuan awal Ramadhan. (bilal/arrahmah.com)

Di Jakarta, hilal terlihat di Cakung dan Cilincing, pemerintah mengabaikan! lebih hebat dari Nabi?



JAKARTA (Arrahmah.com) - Kamis petang (19/7/2012) Tim rukyatul-hilal di Cakung dan di Cilincing yang biasa dari tahun ke tahun memantau hilal dikabarkan sudah melihat hilal. Di Cakung hilal terlihat sekitar 3,5 derajat dan di Cilincing dengan posisi 4 derajat.
Sesungguhnya di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, manakala sudah ada seseorang yang berhasil melihat hilal, Nabi tak bertanya berapa derajatnya. Sementara pemerintah RI melalui Kementerian Agama menentukan harus di atas 2 derajat.
Jika diyakini hilal dalam posisi di bawah 2 derajat yang berarti itu tak diakui pemerintah (karena kurang dari 2 derajat tak terlihat), kenapa harus repot-repot melihat hilal dan bersidang itsbat?
Dan, ternyata, alhamdulillah, di Cakung, Jakarta Timur, dan Cilincing, Jakarta Utara, tim rukyat di sana sudah berhasil melihat hilal masing-masing dengan posisi 3,5 dan 4 derajat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tatkala sudah ada yang menyatakan melihat hilal, langsung memerintahkan besoknya untuk melaksanakan shaum Ramadhan atau mengakhiri Ramadhan dan besoknya ber-idul fitri (1 Syawal).
Di Cakung dan Cilincing, mereka yang melihat hilal sudah disumpah oleh Kementerian Agama setempat, dan hasilnya dikirim ke Kementerian Agama yang sedang melakukan sidang itsbat. Jika pemerintah (Kementerian Agama) melalui sidang itsbat ini tak mengakui kesaksian Tim Cakung dan Cilincing, maka itu berarti kembali mengulangi kefatalan yang sama saat penentuan 1 Syawal (idul fitri) tahun lalu, dimana pemerintah (Kementerian Agama dan MUI) dalam sidang itsbat menolak kesaksian Tim Cakung yang sudah melihat hilal.
Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam saat seseorang datang kepada beliau, melapor sudah melihat hilal, tak pernah beliau menolak. Bahkan Rasulullah, setelah mengambil sumpah  atas dasar kesaksian orang yang bersangkutan, langsung memerintahkan kaum Muslimin kala itu untuk melaksanakan shaum esoknya atau berbuka dan menetapkan 1 Syawal (idul fitri) keesokan harinya.
Dengan demikian, karena sudah ada pihak yang melihat hilal, maka esok, Jumat (20 Juli 2012) adalah awal Ramadhan, ibadah shaum dimulai.
Dalam sidang itsbat yang digelar Kemenag Pusat, wakil dari Front Pembela Islam (FPI) dan ormas Islam An-Najah melaporkan Tim Cakung Jakarta Timur yang telah berhasil melihat hilal dengan posisi 3,5 – 4 derajat dan terlihat selama 4 menit.
Dalam tuntunan Rasulullah, siapapun yang melihat hilal, maka setelah disumpah kesaksiannya, yang lain tinggal mengikuti. Jadi, bukan banyak mana yang melihat dan yang tidak, misalnya, lalu diputuskan mengukuti yang banyak yang tak melihat, bukan begitu caranya, bukan seperti sistem demokrasi yang memilih pemimpin berdasarkan suara terbanyak. Bukan.
Jangan pula lantaran demi persatuan, demi persatuan, kemudian mereka yang berbeda dengan keputusan Menag di sidang itsbat, seakan tidak menjunjung persatuan. Jangan sampai, karena demi persatuan, lantas mengenyampingkan tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Seorang tokoh MUI daerah prihatin dengan pola sidang itsbat yang digelar Kemenag Kamis malam (19/7/2012). Menurutnya, tak sama awal Ramadhan atau 1 Syawal bukan berarti simbol perbedaan. Dalam kasus ini penduduk Madinah pernah tak sama dengan Mu'awiyah di Syam saat menjadi khalifah. Para sahabat yang ada di Madinah ditanya, "Alam taktafii biru'yati Mu'awiyah? (Apakah rukyah Mu'awiyah tak cukup?" Mereka bilang, "Tidak." (Jadi, itu artinya, tak ada kewajiban ikut pemerintah dalam hal ini).
"Bayangkan, itu seorang khalifah, dan Mu'awiyah sangat faqih, bukannya pemerintah yang tak jelas, penuh korup," ujarnya. "Apalagi, ini (hilal) sudah ada yang lihat. Berdosa saja pemerintah mengabaikan  hal itu," imbuhnya.
Dalam sidang itsbat ini, jelas, memang tampak janggal. Janggalnya, 2 ormas Islam yang melaporkan Tim Cakung dan Cilincing telah melihat hilal, dengan posisi 3,5  dan 4 derajat selama kurang lebih 4 menit,  sama sekali tak disinggung atau direspon oleh Menteri Agama.
Menteri Agama menutup sidang dan menetapkan awal Ramadhan jatuh pada hari Sabtu tanggal 21 Juli 2012. Sama sekali mengabaikan Tim yang sudah melihat hilal.
Malah wakil dari NU menyepelekan mereka yang sudah melihat hilal dan  mempertanyakan kenapa ada dari hakim pengadilan agama setempat yang berani mengambil sumpah.
Bagaimana ini bisa terjadi di dalam sidang itsbat yang terhormat itu? Nabi saja, meskipun yang mengaku melihat hilal adalah seorang badui, tapi dengan  bijak dan seksama mendengar dan merespon, lalu menerima dan memutuskan untuk shaum atau beridul fitri esoknya.
Karenanya, jika pemerintah (Kementerian Agama) menolak kesaksian Tim yang sudah jelas-jelas melihat hilal–dan disumpah pula oleh Hakim Pengadilan Agama Kementerian Agama setempat–apakah artinya Kementerian Agama dan sidang itsbat yang dipimpin oleh Menteri Agama itu lebih hebat dari Nabi?
(salam-online.com/arrahmah.com)

Cerita Rukyat Cakung (Hikayat Anak Bulan di Kaki Langit bagian 1)


oleh Ma'rufin Sudibyo pada 20 Juli 2012 pukul 9:11 ·
Telah dilaporkan bahwa empat orang anggota tim Cakung (Jakarta Timur) berhasil melihat hilaal dengan ketinggian 3,5 derajat sejak pukul 17:53 WIB hingga 5 menit kemudian tanpa terputus. Pelapor telah disumpah, namun hasil laporannya ternyata tidak diterima dalam sidang isbat. Mengapa?

Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan kami kepada kepada rekan-rekan tim Cakung, laporan tersebut memang meragukan. Ada beberapa alasan mendasarinya. Pertama, perhitungan ijtima' (konjungsi Bulan-Matahari). Tim Cakung menggunakan hisab (perhitungan) Mansyuriyah yang bersandar pada kitab Sullam al-Nayyirain. Ilmu falak mengelompokkan hisab ini sebagai sistem hisab taqriby atau hisab berkualitas/berakurasi rendah. Dalam ijtima' misalnya, jika sistem hisab kontemporer menyatakan terjadi pada pukul 11:24 WIB dengan akurasi sangat tinggi, hisab Mansyuriyah menyatakan ijtima' terjadi pukul 09:26 WIB alias hampir 2 jam lebih dulu.

Masalah akurasi yang rendah ini sebenarnya sudah menjadi perhatian Guru Muhammad Mansyur al-Batawi saat menulis kitab tersebut pada 1925 silam. Dengan tegas beliau menekankan hasil perhitungan ijtima' hisab Mansyuriyah harus dibandingkan dengan kejadian Gerhana Matahari, karena puncak Gerhana Matahari selalu bertepatan dengan ijtima'. Jika hasil perhitungan berbeda dengan kejadian Gerhana Matahari, maka dilakukan koreksi dengan mengacu Gerhana Matahari. Namun, sependek pengetahuan kami, tim Cakung tidak pernah membandingkan hasil perhitungannya dengan Gerhana Matahari, katakanlah seperti peristiwa Gerhana Matahari 2009 dan 2010. Di sisi lain, Badan Hisab dan Rukyat Nasional Kementerian Agama Republik Indonesia pernah menawarkan untuk meng-upgrade hisab Mansyuriyah agar memiliki kualifikasi sebagai hisab berkualitas tinggi. Namun tawaran ini ditolak dengan alasan kitab Sullam al-Nayyirain tidak boleh diutak-atik.

Kedua, terminologi "tinggi hilaal" dalam hisab Mansyuriyah berbeda dengan istilah yang sama dalam khasanah ilmu falak masa kini. "Tinggi hilaal" menurut hisab Mansyuriyah sebenarnya adalah elongasi (jarak sudut) Bulan dan Matahari. Jika posisi Bulan tidak tepat di atas Matahari, melainkan di sisi kirinya (seperti terjadi pada 19 Juli 2012 ini), akibatnya "tinggi hilaal" menurut hisab Mansyuriyah menjadi miring terhadap horizon (ufuk). Padahal pengertian tinggi hilaal dalam ilmu falak adalah jarak vertikal yang tegaklurus terhadap horizon. Silap antara tegaklurus dan miring menghasilkan kekeliruan elementer.

Ketiga, hilaal dianggap terlihat karena sudah lebih besar dari batas 2 derajat. Parameter tinggi hilaal 2 derajat sebenarnya hanya berlaku untuk sistem hisab kontemporer. Itupun tidak tunggal. Dalam kriteria imkan rukyat, hilaal dianggap bisa terlihat salah satu dari dua syarat berikut terpenuhi: tinggi terkoreksinya > 2 derajat dan umur Bulan > 8 jam, atau tinggi terkoreksi > 2 derajat dan elongasi > 3 derajat (tinggi terkoreksi 2 derajat = tinggi hilaal 2,25 derajat). Jika dihitung dengan sistem hisab kontemporer, pada lokasi Cakung tinggi hilaalnya sebenarnya hanya 1 derajat alias masih jauh dari batas 2,25 derajat. Sementara bagi hisab Mansyuriyah sendiri, dulu Guru Mansyur telah menggarisbawahi kalau "tinggi hilaal" yang bisa diterima sebagai parameter batas adalah sebesar 8, 7 atau 6 derajat. Sehingga jika perhitungannya berbasis hisab Mansyuriyah namun parameternya menggunakan sistem hisab kontemporer, jelas tidak nyambung dan ada kesilapan elementer.

Keempat, kesaksian terlihatnya hilaal amat meragukan, sebab Cakung bukan lokasi ideal untuk observasi benda langit apalagi di ketinggian amat rendah. Arah pandang ke barat dicemari beberapa sumber cahaya pengganggu, mulai lampu menara seluler, arus lalu lintas pesawat yang bersiap mendarat atau lepas landas dari bandara Soekarno-Hatta dan sebagainya. Seorang perukyat yang berkualifikasi harus mengeliminasi terlebih dahulu kemungkinan-kemungkinan sumber cahaya pengganggu di kaki langit barat, baik berupa cahaya latar depan (seperti lampu menara, lampu pesawat, lampu kapal, pantulan cahaya Matahari di awan tertentu, balon udara dlsb) maupun cahaya latar belakang (Venus, Mars, Jupiter dan bintang Sirius). Jadi tidak sekedar asal ada titik cahaya di kaki langit barat pada arah yang diprediksi lantas diproklamirkan sebagai hilaal.

Dan yang kelima, kesaksian terlihatnya hilaal datang dari pengamat yang tidak dilengkapi alat bantu optik. Kita bisa memperhitungkan bahwa di Cakung, baik tanpa ataupun dengan menggunakan alat bantu optik sekalipun, terjadi situasi dimana intensitas cahaya Bulan yang diterima di permukaan Bumi (setelah melintasi atmosfer) telah lebih besar dibanding intensitas cahaya senja (yang adalah cahaya Matahari yang dibiaskan dan dihamburkan di atmosfer). Namun nilai kontras Bulan, yakni rasio antara intensitas cahaya Bulan di permukaan Bumi terhadap cahaya senja, masih jauh di bawah ambang batas kontras mata. Maksudnya, jika cahaya senja memiliki warna kemerah-merahan, Bulan tepat berada di lingkungan cahaya kemerah-merahan tersebut dan juga masih berwana kemerah-merahan (belum didominasi warna putih) sehingga mata takkan bisa membedakannya.

Kasus Cakung mendemonstrasikan betapa kita membutuhkan hisab (perhitungan) yang berkualitas dan diimbangi juga dengan rukyat (observasi) yang berkualitas pula. Rukyat yang tidak berkualitas sulit untuk ditakar kesahihannya karena faktor-faktor di atas yang saling berkait berkelindan. Kasus Cakung sebenarnya bukan hal yang baru bagi Indonesia dan Dunia Islam pada umumnya. Data dari Saudi Arabia berkata, selama periode 1961-1964 ada 87 % hasil rukyat yang dipertanyakan kesahihannya. Data dari Yordania lebih mengejutkan lagi, karena selama periode 1957-2004 ada 92 % hasil rukyat yang sulit dipercaya kesahihannya. Demikian pula dari Indonesia selama periode 1962-1997, terdapat 70 % hasil rukyat yang dikategorikan tidak sahih. Hal-hal semacam ini tentu tidak perlu terjadi lagi di masa depan.

Keterangan gambar = Atas : posisi Bulan dan Matahari untuk Cakung pada Kamis 19 Juli 2012 saat terbenam berdasarkan hisab sistem kontemporer yang berakurasi tinggi. Nampak Bulan masih berada di bawah batas garis tinggi 2 derajat. Garis tebal penghubung Bulan dan Matahari adalah elongasi. Bawah kiri : hasil perhitungan intensitas cahaya Bulan yang diterima di permukaan Bumi untuk lokasi Cakung dan intensitas cahaya senja, dinyatakan dalam kurva semi-logaritmik. Nampak sejak Matahari terbenam hingga saat Bulan terbenam, intensitas cahaya Bulan sudah lebih besar dibanding cahaya senja. Bawah kanan : nilai kontras Bulan (rasio intensitas cahaya Bulan yang diterima di permukaan Bumi terhadap cahaya senja) dibandingkan dengan ambang batas kontras mata (Cth) sebagai fungsi batas resolusi mata manusia. Nampak sejak Matahari terbenam hingga Bulan terbenam, kontras Bulan tidak pernah melebihi nilai ambang batas kontras mata.
 
source :

Ayo Perbanyak Solawat

download win hisab versi 2.96 via ziddu

SARKUB TECH MELEK IPTEK

UNIVERSITAS MENYAN INDONESIA

Santri

PISS - KTB

Total tayangan laman

4