Lahir di desa Padangan kecamatan Padangan Bojonegoro, Jawa Timur tanggal 16 September 1908 M, Rabu Pahing, 19 Sya'ban 1326 H. Kehidupannya banyak dihabiskan di kota Salatiga, Jawa Tengah. Pendidikan formalnya dimulai di usia 8 tahun di Madrasah Ulum, komplek masjid agung Bojonegoro. Maslahah, menantu KH. Zubair menjelaskan, Zubair muda adalah sosok santri yang gemar berpetualang dari satu pesantren ke pesantren lainnya.
Masa Belajar
- Madrasah Ulum (1916-1921)
- Pondok pesantren Termas Pacitan (1921-1925) beliau belajar dengan KH. Machfud dan KH. Dimyathi Abdullah (w.1934)
- Pondok Pesantren Simbang Kulon Pekalongan (1925-1926) beliau belajar dengan KH. Amir Idris (w.1938)
- Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang (1926-1929) belajar kepada KH. Hasyim Asy’ari
- Mekkah (1930-1935)
Menikah
Alkisah, Kyai Abdul Fattah, seorang kades Reksosari, Suruh, Salatiga meminta salah seorang murid KH. Hasyim Asy‘ari memberikan salah seorang muridnya kepada kyai Abdul Fattah, beliau mengiyakan dengan syarat Zubair muda harus belajar terlebih dahulu sebelum diterjunkan di masyarakat. Hingga akhirnya, dengan persetujuan diantara mereka, Zubair di serahkan kepada Kyai Abdul Fattah dan menikahkannya dengan Zainab putri beliau tanggal 15 September 1929. Setelah berlangsungnya pernikahan tersebut, kyai Abdul Fattah mengirim Zubair berhaji dan belajar ke Makkah ditemani istri.
Kesulitan Mencari Guru
Awalnya, Zubair di minta KH. Hasyim Asy’ari untuk mendalami hadits setibanya di Makkah nanti. Tapi minatnya pada Ilmu Falak telah mengakar sejak belia, keinginannya untuk mendapatkan guru Ilmu Falak di Makkah al-Mukarramah kandas. Karena saat test berlangsung, di ketahui bahwa Ilmu beliau dalam hal falak telah jauh diatas guru yang ada di Makkah sehingga guru tersebut justru yang belajar kepada KH. Zubair Umar al-Jailani.
Kemudian beliau meninggalkan Makkah dan menuju ke Madinah untuk menemui ahli falak disana. Namun saat di Madinah, beliau juga tidak mendapatkan guru yang diharapkan. Kemudian beliau di sarankan untuk pergi ke Syiria (Damaskus). Sesampainya di Syiria, hasilnya tetap sama. Hingga ahirnya beliau melanjutkan perjalanan ke Palestina. Dan harapan beliau untuk bertemu ahli falak disana juga masih belum terpenuhi.
Mengajar Di Universitas Al Azhar
Baru kemudian beliau disarankan untuk menemui seorang guru di Al-Azhar waktu itu rektornya dipegang oleh Syekh Musthafa al-Maraghi. Disinilah beliau bertemu dengan Syeikh Umar Hamdan al-Mahrasi (w.1949) dengan kitab kajian al-Matla’ al-Sa’id karya Husain Zaid al-Misri dan al-Manahij al-Hamidiyah karya Abdul Hamid Mursy. Data astronomis yang digunakan kitab al-Khulasah al-Wafiyah sama dengan data yang ada pada kitab al-Matla’ al-Sa’id, tetapi menggunakan epoch (mabda’) Mekkah (39º50'), karena kitab tersebut dikonsep ketika KH. Zubair bermukim di Makkah.
Di Al-Azhar, beliau diangkat menjadi dosen Falak selama tahun 1931-1935. Dalam mengajar, beliau tidak menggunakan buku rujukan. Namun para mahasiswa beliau tekun dan rajin sehingga banyak catatan-catatan yang dibuat oleh mereka. Setelah mengetahui bahwa mahasiswa KH. Zubair Umar al-Jailani banyak yang mencatat materi mata kuliah beliau, ahirnya catatan-catatan tersebut beliau kumpulkan dan beliau bawa ke Indonesia yang akhirnya dibukukan tahun 1937 menjadi kitab Al-Khulasah al-Wafiyah.
Dari Kairo, Kiai Zubair Umar kembali ke Indonesia di tahun 1935, dan menetap di rumah keluarga istrinya di Suruh, Salatiga. Beberapa tahun kemudian usai Revolusi Kemerdekaan beliau mendirikan Pesantren Luhur Salatiga yang kemudian menjadi IKIP NU, lalu berubah menjadi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo. Setelah itu berangsur-angsur berubah menjadi STAIN Salatiga (kini IAIN Salatiga).
Jabatan
- Guru madrasah salafiyyah Tebu Ireng Jombang
- Guru di PGA di Salatiga
- Guru madrasah kuliyatul muballigh di Semarang
- Guru di pondok pesantren Mambaul Ulum Kauman Johar Semarang
- Ketua Mahkamah Islam Tinggi Jawa Madura
- Anggota Syuriyah PBNU di era kepemimpinan Rais Am KH. Abdul Wahab Chasbullah periode 1967-1971
- Rektor IAIN Walisongo (SK tanggal 5 Mei 1971) pada tahun 1970-1972
- Pimpinan Pondok Pesantren Al-Ma’had Al-Diniy, Reksosari Suruh Salatiga (1935-1945)
- Pimpinan pondok pesantren Luhur yang merupakan cikal bakal IKIP NU yang akhirnya menjadi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo cabang Salatiga dan sekarang menjadi STAIN Salatiga.
- Pimpinan pondok pesantren Joko Tingkir pada tahun 1977 yang sekarang tinggal petilasannya.
- PNS, jenjang karir beliau diantaranya; penghulu pada PN Salatiga tahun 1945-1947, koordinator urusan agama karesidenan Pati, kepala KUA Jateng di Semarang
- Penghulu Kabupaten Semarang di Salatiga tahun 1947-1951
- Ketua Mahkamah Islam Tinggi di Surakarta tahun 1962-1970
- KH. Zubair Umar juga pernah diminta selaku promotor oleh Universitas Nahdlatul Ulama (UNNU) Surakarta (didirikan oleh PBNU di tahun 1958) untuk menganugerahkan gelar doktor kehormatan (honoris causa) kepada dua orang sarjana asal Universitas Al-Azhar Kairo pada tanggal 15 Desember 1968. Keduanya adalah Prof. Dr. Muadz dan Prof. Dr. Bashrawi. Ini mengingat reputasi beliau sebagai dosen yang pernah mengajar di kampus bergengsi di Mesir
- Ketua Tanfiziyah NU cabang Kabupaten Semarang tahun 1945
- Ketua Masyumi cabang Salatiga, komandan Barisan Kiai-Barisan Sabilillah Kabupaten Semarang di masa Revolusi Kemerdekaan mengusir penjajahan Belanda
- Ketua Syuriah Partai Masyumi cabang Kabupaten Semarang dan kota Salatiga tahun 1946
- Rais Syuriah Partai NU cabang Kabupaten Semarang dan kota Salatiga tahun 1952-1956
- Rais Syuriah NU wilayah Propinsi Jawa Tengah tahun 1956-1970
Mendirikan Pesantren
Pada tahun 1971 Kiai Zubair menerima hibah tanah dari pemerintah seluas enam hektar untuk pembangunan pesantren. Pesantren ini kemudian berdiri dengan nama Pondok Pesantren Joko Tingkir di tahun 1977, karena lokasinya yang kebetulan berada di Kecamatan Tingkir Lor, Salatiga. Namun, sepeninggal Kiai Zubair, Pesantren Joko Tingkir tidak lagi menggelar pengajian, dan kini hanya tinggal petilasan saja.
Rendah Hati
Meski terkenal, Mbah Zubair tetap bersikap tawaduk. Sikap yang diartikan tulus dan rendah hati membuat para pejabat hingga masyarakat kecil segan kepadanya. Kepandaiannya dalam ilmu hukum agama Islam, membuatnya kerap menjadi “penasihat hukum” dan rujukan siapa saja untuk membantu penyelesaian masalah berkaitan dengan hukum Islam.
Permasalahan apa pun yang berkaitan dengan Islam, selalu yang menjadi rujukan adalah KH Zubair. Bahkan kerap menjadi rujukan para tokoh agama Islam lainnya.
Murid-muridnya
- Kyai Musyafak (Salatiga Jawa Tengah)
- Kyai Subkhi (Jawa Timur)
- Hamid Nawawi (Bulu Manis, Pati, Jawa Tengah)
- Slamet Hambali (Dosen IAIN Walisongo Semarang)
- Drs Habib Thoha, M.A. (mantan Kakanwil Depag Jawa Tengah)
Diantara sekian banyak muridnya si pondok pesantren Joko Tingkir Salatiga
KH. Slamet Hambali merupakan santri yang paling tekun. Ia tetap bersemangat belajar falak dan memecahkan algoritma yang paling sulit meskipun rekan belajarnya adalah orang yang jauh lebih tua darinya.
Kini KH. Slamet Hambali masih eksis mengembangkan ilmu falak di almamaternya IAIN Walisongo Semarang dan menjadi salah satu mata rantai sanad kitab al-Khulashatu al-Wafiyyah fi al-Falak bijadwal al-Lugharitmiyyah.
Karya Tulis
Hasil karya populernya dalam bidang ilmu falak adalah al-Khulashatu al-Wafiyyah fi al-Falak bijadwal al-Lugharitmiyyah. Kitab ini pertama kali dicetak oleh percetakan Melati solo, kemudian dicetak ulang oleh percetakan Menara Kudus.
Wafat
Setelah pensiun, beliau kembali ke pondok pesantren Tingkir Salatiga dan wafat di sana pada tanggal 10 Desember 1990 M atau 24 Jumadil-ula 1411 H. beliau dimakamkan di komplek pemakaman masjid Raya Baitul ‘Atiq, Kauman, Salatiga. Hasil pernikahannya dengan Hj Zainab dikarunai 6 anak; Cholid, Wasil, Anisah, Djahfal, Wardiyah, AL Humam, Jauhariyah.
Delapan tahun setelah beliau wafat, area pemakaman tersebut terkena aliran air yang sangat deras, yang menimbulkan kerusakan pada makam. Kemudian dilakukan pembenahan makam. Saat membongkar makam KH. Zubair Umar al-Jailany, jenazah beliau ditemukan masih utuh seperti sedia kala dengan posisi yang sama. Padahal papan yang terdapat di dalam makam beliau sudah hancur. Namun, setelah diatur ulang, jenazah tersebut langsung dimasukkan kembali tanpa dimandikan ulang dan papan yang sudah rusak diganti dengan semen cor.
#Ini foto Kiai Zubair menganugerahkan gelar doktor kehormatan (honoris causa) kepada dua orang sarjana asal Universitas Al-Azhar Kairo pada tanggal 15 Desember 1968.
Sumber :