,

,

Kamis, 26 Februari 2015

ABAH BERSAMA BIARAWATI





HABIB LUTFI MEMAKAI BLANKON


HABIB LUTFI BERSAMA MASYAYIKH


TINTIN DI JAKARTA


Habib Lutfi Yahya Pekalongan


Habib Lutfi & Habib Umar bin Hafidz


Biografi KH. Asyari Kaliwungu Kendal Oleh : Sholekhatul Amaliyah


Kyai Asy’ari merupakan ulama besar yang kharismatik pada dekade tahun 1781-an di daerah Kaliwungu khususnya dan Kendal pada umumnya. Kepopuleran Kyai Asy’ari disebabkan metode dakwah yang unik, menarik dan kontroversial. Kemampuannya mengajak masyarakat yang mulanya primitif dan awam terhadap masalah keagamaan, terutama ajaran Islam, menjadi masyarakat yang agamis dan religius. 

Kepribadian beliau yang sederhana dan kharismatik sangat disegani oleh masyarakat, sehingga namanya selalu dikenang hingga sekarang. Perjuangan dakwahnya sudahsemestinya diteladani, diteruskan dan ditumbuhkembangkan. Dilahirkan di Wanantara Yogyakarta, kira-kira pada tahun 1746 dengan nama yang cukup singkat, yaitu Asy’ari bin Ismail bin H. Abdurrahman bin Ibrahim. Dari garis silsilahnya, menurut salah satu sumber, Kyai Asy’ari masih termasuk keluarga Sayyidina Ali, dan dengan Nabi Muhammad SAW bertemu pada keluarga Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab (Abdullah, 2004: 60-61). Kyai Asy’ari dibesarkan dan hidup pada masa kerajaan Mataram Islam, semenjak kecil ia mendapatkan didikan yang cukup keras di kedalaman Keraton Ngayogyakarta, dengan harapan kelak nantinya bisa meneruskan perjuangan dakwah Islam seperti yang dilakukan para waliyullah, auliya dan para syuhada. 

Pada masa itu Kyai Asy’ari belajar membaca dan menulis dari para ulama, kyai dan tokoh agama yang ada di lingkungan kerajaan Mataram Islam. Banyak hal yang ia dapatkan dari hasil belajar yang diperoleh dari para gurunya, terutama masalah keagamaan diantaranya, ilmu Al-Qur'an, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu badi, ilmu mantiq, ilmu bayan, ilmu µaruld, ilmu hadits, lughatul Arabiyyah dan ilmu agama lainnya. Setelah menginjak dewasa ia melanjutkan menuntut ilmu ke Makkah untuk mempelajari agama Islam, kira-kira selama 10 tahunan.

Dengan bekal ilmu agama tersebut diharapkan Kyai Asy’ari akan mampu meneruskan perjuangan para tokoh agama Mataram Islam. Sepulang dari Makkah Kyai Asy’ari ditugaskan oleh susuhunan Mataram untuk berdakwah, menyebarkan ajaran-ajaran agama Islam khususnya di daerah Kaliwungu Kendal. Kyai Asy’ari datang di Kaliwungu pada usia 35 tahun, maka tahun kedatangan Kyai Asy’ari di Kaliwungu kira-kira tahun 1781-an (Rochani, 2005: 64). 

Setelah kedatangan Kyai Asy’ari di Kaliwungu, ia kemudian bermukim dan menetap di kampung yang saat ini terkenal dengan nama Kampung Pesantren Desa Krajankulon Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal. Di Kampung Pesantren itulah Kyai Asy’ari merintis dan mengajarkan Islam dengan kitab kuningnya dengan mendirikan sebuah pondok pesantren salaf (Abdullah, 2004: 19). Yang sekarang ini menjadi pondok APIP (Asrama Pelajar Islam Pesantren), karena pada waktu itu fasilitas dan sarana untuk belajar belum memadai maka Kyai Asy’ari juga menggunakan musholla sebagai tempat untuk belajar dan menuntut ilmu agama Islam bagi para santri, yang sekarang ini menjadi Musholla Al Asy’ari, tepatnya di Kampung Pesantren Desa Krajankulon kecamatan
Kaliwungu. 

Sejarah nama Musholla Al-Asy’ari berasal dari nama pendirinya yaitu Kyai Asy’ari (Kyai Guru), sehingga dinamakan Musholla Al-Asy’ari. Tindakan Kyai Asy’ari dalam berdakwah, dan mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam melalui pondok pesantren yang didirikannya merupakan langkah yang tepat, karena kondisi masyarakat Kaliwungu pada saat itu awam agama dan jauh dari nilai-nilai agama Islam. Selama ia tinggal dan
menetap di pondok pesantren yang didirikannya di Kaliwungu, tidak lama kemudian berdatanganlah santri-santri dari berbagai daerah untuk belajar dan menuntut ilmu.

Selama kedatangannya di Kaliwungu Kyai Asy’ari bertemu dan saling kenal dengan KH. Abu Sudjak dan KH. Muhammad Marhum (kakek dan ayah Kyai Ahmad Rifa’i) dan juga saudara-saudara Kyai Ahmad Rifa’i. Tidak lama kemudian menikah dengan Nyai Radjiyah (kakak kandung Kyai Ahmad Rifa’i) pada usia 40 tahun, sedangkan Nyai Radjiyah kira-kira 20 tahun maka pernikahan itu kira-kira berlangsung pada tahun 1786, bersamaan dengan tahun kelahiran Kyai Ahmad Rifa’i. Kalau Kyai Asy’ari menikah dengan Nyai Radjiyah pada usia 40 tahun (mungkin istri Kyai Asy’ari tidak satu orang, dan Nyai Radjiyah mungkin juga bukan istri pertamanya), maka kelahiran Kyai Asy’ari kira-kira pada tahun 1746 (1786 dikurangi 40 tahun = 1746) (Rochani, 2005: 64).

KH. Muhammad Marhum, ayah Kyai Ahmad Rifa’i meninggal dunia, ketika Ahmad Rifa’i berusia 6 tahun (1792), dan ketika ditinggal wafat oleh kakeknya, KH. Ahmad Abu Sudjak atau Raden Setjowidjojo (1794), umur Kyai Ahmad Rifa’i baru 8 tahun. Maka untuk mengurangi beban berat Siti Rahinah (ibu Kyai Ahmad Rifa’i) dan demi kelangsungan pendidikan masa depan, setelah memasuki usia tujuh tahun, Ahmad Rifa’i dibawa oleh kakak kandung Nyai Radjiyah ke Kaliwungu dan tinggal di rumahnya (Pondok Pesantren Kyai Asy’ari). Selama di Kaliwungu ia mendapat pendidikan dan pembinaan dari kakak iparnya yaitu Kyai Asy’ari.

Kyai Asy’ari dalam mengasuh, mendidik dan membina Ahmad Rifa’i cukup rajin dan teliti, dibandingkan dengan murid-murid yang lain. Berkat ketekunan dan keikhlasan Kyai Asy’ari, Ahmad Rifa’i menjadi murid yang pandai dan cerdas. Dengan modal dasar pemberian Allah Rabbul µAlamin, berupa akal cerdas, pikiran luas, dalam waktu relatif singkat Ahmad Rifa’i sudah dapat menguasai beberapa ilmu agama yang Diajarkan oleh Kyai Asy’ari diantaranya, ilmu Al-Qur’an, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu Badi’, ilmu mantiq, ilmu bayan, ilmu ‘aruld, ilmu hadits,, ilmu lughatul arabiyah dan ilmu agama lainnya. Seperti tradisi di pesantren, kyai Ahmad Rifa’i sering membantu pekerjaan gurunya, kyai Asy’ari yang sebagai kakak iparnya. Setelah kyai Ahmad Rifa’i mencapai usia delapan tahun, ia sering berkumpul dan tidur bersama para santri di masjid atau mushalla. Bangun pagi dari tidurnya, sholat subuh berjama’ah, berdzikir membaca tahmid dan takbir serta tahlil sudah menjadi kebiasaannya, karena merupakan kebiasaan (tradisi) di pesantren.

Kyai Asy’ari adalah seorang ulama yang dalam ilmunya, dalam kesehariannya sangat dekat dan akrab kepada semua kalangan masyarakat, sehingga disegani dan dihormati oleh masyarakat luas, rakyat dan pejabat kolonial Belanda. Dalam aktivitasnya, setiap pagi, siang, sore, malam atau kapan saja waktunya digunakan untuk mendidik dan mengajar serta membina para santrinya. Khusus tengah malam, digunakan untuk munajat kepada Allah ‘Azza Wa jalla, bertaqorrub, mendekatkan diri pada Al- Khaliq, Allah yang maha Esa seperti shalat tahajud, sholat nisfullail dan ibadah lainnya.

Acara semacam itu sudah menjadi kebiasaan yang tidak ditinggalkan, di rumah, di masjid, atau di mana saja ia berada. Sehingga pada suatu saat tengah malam, kyai Asy’ari keluar rumah pergi ke masjid untuk melakukan peribadatan dengan sekaligus melihat suasana para santri yang tidur di serambi masjid itu. Sesampainya di dalam masjid, ia terkejut karena melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya yaitu, melihat cahaya yang terang dari jasad seorang anak asuhan yang tidak dapat diketahui namanya, menyinari ruangan masjid sekelilingnya, walaupun tidak seterang lampu “dlepak” yang biasa di pakai oleh santri pada zamanya. Konon cahaya itu bisa menembus ke atap langit masjid dan tembus ke angkasa. 

Menurut cerita seorang ahli katanya, apabila dari jasad seorang anak keluar cahaya atau (nur) dan cahaya itu menyinari ke atas dan sekelilingnya, maka tandanya anak tersebut kelak akan menjadi orang besar yang sanggup membina (menyinari) kepada masyarakat banyak. Dengan firasat kedalamannya yang mendorong kyai Asy’ari ingin mengetahui dari mana sumber cahaya yang disaksikan sendiri itu. Suasana menjadi sunyi sepi dan gelap, tidak ada satu lampu yang menyala, sehingga untuk mengetahui anak yang bercahaya mengalami kesulitan. Maka di sobeklah kain sarung yang dipakai anak tersebut dengan harapan semoga besuk pagi dapat diketahui siapa anak yang bermandikan cahaya itu. Pagi hari pada saat ramainya orang sholat berjamaah dan para santri siap akan pergi mengaji, terdengarlah suara isak tangis yang memilukan dari seorang anak yatim yang bapak kandungnya telah lama meninggal, yaitu kyai Ahmad Rifa’i namanya, menangis karena sobek kain sarungnya. Suara tangisnya makin lama semakin keras, sehingga sempat didengar oleh kyai Asy’ari dirumahnya. Kemudian dipanggilah Ahmad Rifa’i oleh kakak iparnya untuk menghadap beliau, setelah itu Ahmad Rifa’i mendapat ganti kain sarung yang sobek dengan yang baru. Betapa gembiranya hati Ahmad Rifa’i, sebagaimana gembiranya kyai Asy’ari setelah mengetahui bahwa anak yang bermandikan cahaya di masjid semalam adalah adik iparnya sendiri, yang insya Allah kelak akan menjadi ulama besar kenamaan (Syadzirin,1989:11).

Selama hidupnya kyai Asy’ari lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengabdi dan berjuang untuk menegakkan tali agama Allah SWT (agama Islam) yaitu, dengan mendidik, mengajar dan membina para santri di pondok pesantrennya maupun mengabdi kepada masyarakat Kaliwungu melalui ketrampilan dan ilmu Agama Islam yang ia miliki, karena kondisi masyarakat Kaliwungu pada saat itu masih sangat primitif dan awam terhadap masalah agama dan jauh dari nilai-nilai agama Islam. Menurut sejarah sebelum kyai Asy’ari menikah dengan nyai Radjiyah ia juga mempunyai istri yang berasal dari Aceh yang bernama nyai Guru Manila dan mempunyai enam anak putra dan putri yaitu: ki Ya’kub, Muhammad, Rodhiyah, Afiyah, Ibrahim Umi Aceh dan Umar Umi Aceh. 

Dengan dukungan para istri, adik iparnya yaitu kyai Ahmad Rifa’i dan anakanaknya, kyai Asy’ari terus mengembangkan dakwahnya hingga akhir hayatnya. Kapan kyai Asy’ari wafat dan pada umur berapa kyai Asy’ari wafat belum ditemukan catatannya, tetapi dapat di perkirakan bahwa setelah kyai Ahmad Rifa’i wafat pada tahun (1876) tidak lama kemudian kyai Asy’ari wafat. Makam kyai Asy’ari atau kyai Guru di Jabal, sebelah selatan desa Protomulyo atau protowetan Kaliwungu, ditempatkan pada sebuah bangunan rumah yang besar dan indah serta dilengkapi dengan air untuk bisa dipergunakan berwudlu. Menandakan bahwa Kyai Asy’ari adalah seorang tokoh ulama yang sangat dihormati.

Sumber:
Karya : Sholekhatul Amaliyah

Habib Lutfi Bersama Murid-Murid Beliau


IKAN - IKAN LAUT DALAM [4000 M DI BAWAH LAUT]

Architeuthis Dux
panjang 8 meter gan, 
cukup buat bikin sup cumi selama setengah tahun ...



Bathynomus Giganteus
Bisa buat bikin rempeyek raksasa ...


Harriotta Raleighana
Moncongnya mirip tukul arwana



Eurypharynx Pelecanoides
Congornya lebar bingitsss gan ...


 Melanocetus Johnsoni
Liatin ada lampunya gan
kalo lg periksa gigi gak usah repot2 pake lampu
Dia yg mau makan si nemo di film finding nemo



Grammatostomias Flagellibarba
bisa buat bikin rempeyek teri neh gan ... super mini cuma 5 mm



Anoplogaster Cornuta
Seremmm gan ...


Mesopelagic
Ikan laut dalam yg kecil kecil


sumber:
Si Mbah Google

Ayo Perbanyak Solawat

download win hisab versi 2.96 via ziddu

SARKUB TECH MELEK IPTEK

UNIVERSITAS MENYAN INDONESIA

Santri

PISS - KTB

Total tayangan laman

4