,

,

Kamis, 23 Juli 2015

Maulana Kholid Al Baghdadiy Pembaharu Tarekat Naqsyabandiyah


Karya Dr. Nizar Abazhah, penulis produktif asal damaskus, karyanya tentang sejarah, biografi dan lain-lain mencapai 40-an buku. Ini salah satu karya beliau, mengisahkan perjalanan hidup maulana Kholid Mujaddid, maha guru masyayikh naqsyabandiyah, dari tangan dinginnya lahir para alim seperti penulis Raddul Mukhtar Syekh Muhammad Amin Ibnu Abidin, pakar fiqih mazhab hanafi. Banyaknya orang yang iri terhadap Maulana Kholid membuat gusar sang murid hingga akhirnya Syekh Muhammad Amin Ibnu Abidin menulis risalah menolak klaim para penentang gurunya berjudul Sallul Hisam Al Hindiy (download kitabnya).

Abul Baha Dhiyauddin Kholid bin Ahmad bin Husain Al Qodiri, As Suhrawardi Al Kubrawi Al Chisti Asy Syafi'i lahir di Qaradag, Syahrazur, Kurdistan tahun 1193 H / 1779 M dan wafat di tahun 1242 H / 1826 M. Ayahnya dijuluki Pir Mikail 'cay angust-i' artinya pemilik enam jari di tangan (b. urdu: jari enam) adalah seorang zahid dan ahli ibadah. Nasab ayahnya bersambung kepada sayyidina Utsman bin Affan, sedang nasab ibunya bersambung hingga ke sayidah fatimah.

Tinggal bersama ayahnya di Sulaimaniyah, Irak dia mulai menghafal kitab-kitab dasar seperti Al Muharror Imam Rofi'i tentang fikih, Matan Az Zanjani tentang ilmu shorof. Guru-gurunya selama belajar di antaranya Syekh Abdul Karim Al Barzanji, Mulla Muhammad Solih, Mulla Ibrahim Al Bayari, Syekh Abdullah Al Khirbariy. Dia juga mempelajari risalah Syamsiyah tentang ilmu mantiq (logika) dan falak kepada Mulla Zadah Abdul Karim Az Zayadiy selama di Sulaimaniyah Turki. Kemudian ia datang ke Baghdad dan mempelajari Mukhtasar Al Muntaha Fil Usul, sebuah ensiklopedia mengenai prinsip-prinsip dasar fikih.

Ia mempelajari karya Ibn Hajar, As Suyuti, dan Al Haythami.  Ia mampu menghafal tafsir Qur’an karya Al Baidhawi.  Ia mampu menemukan pemecahan bahkan bagi pertanyaan-pertanyaan tersulit di bidang fikih.  Ia mampu menghafal Qur’an dalam empat belas Qiraat yang berbeda, dan ia menjadi sangat terkenal di mana-mana karena kemampuannya ini.

Pangeran Ihsan Ibrahim Pasha, yang merupakan gubernur daerah Baban berusaha membujuknya untuk mengurus sekolah di kerajaannya.  Namun ia menolaknya dan ia pindah ke kota Sanandaj, di mana ia mempelajari ilmu matematika, teknik, astronomi dan kimia.  Gurunya dalam disiplin ini adalah Muhammad Al Qasim As Sanandaji. Setelah menyelesaikan studi ilmu-ilmu sekuler ia kembali ke kota Sulaymaniyyah.  Menyusul terjadinya wabah penyakit pada tahun 1213 H / 1798 M. Dia mengambil alih madrasah Syekh Abdul Karim Al Barzanji.  Ia mengajarkan ilmu-ilmu modern, dan memverifikasi persamaan-persamaan yang rumit dalam astronomi dan kimia. 

Ia kemudian melaksanakan khalwat, meninggalkan semua yang telah dipelajarinya, dan datang ke pintu Allah dengan segala ibadah dan banyak zikir, baik zikir jahar maupun khafi.  Ia tidak lagi mengunjungi sultan, tetapi ia tetap berkumpul bersama murid-muridnya sampai tahun 1220 H / 1806 M. Ketika ia memutuskan untuk menunaikan ibadah Haji dan mengunjungi Nabi.  Ia meninggalkan segalanya dan pergi ke Hijaz melalui kota Mosul dan Yarbikir dan Ar Raha dan Aleppo dan Damaskus, di mana ia bertemu para ulama di sana dan mengikuti Syekh di sana, yang merupakan syekh bagi ilmu qadim dan modern, serta guru ilmu hadits, Syekh Muhammad Al Kuzbara.  Ia menerima otoritas dalam Tarekat Qadiri dari Syekh Al Kuzbari dan deputinya, Syekh Mustafa al-Kurdi, yang turut menemaninya pergi hingga sampai di kota Nabi. 

Ia memuji Nabi (s) dalam puisi Persia sedemikian rupa sehingga orang-orang merasa takjub akan kefasihannya.  Ia menghabiskan waktu yang panjang di Kota Nabi (s).  Ia melaporkan: 

“Aku sedang mencari seorang saleh yang langka untuk mendengarkan nasihat darinya ketika aku melihat seorang Syekh di sebelah kanan dari Rawdhatu-sy-Syarifa.  Aku memintanya untuk memberikan nasihat, dari seorang ulama yang bijak kepada seorang yang bodoh.  Beliau menasihatiku agar tidak merasa keberatan ketika aku memasuki Mekah, terhadap masalah-masalah yang mungkin muncul dan bertentangan dengan Syari`ah.  Beliau menasihati agar aku tetap diam.  Aku lalu mencapai Mekah dan aku menjaga nasihat itu di dalam hatiku.  Aku pergi ke Masjidil Haram dini hari pada hari Jumat.  Aku duduk di dekat Ka’bah membaca Dala'il al-Khayrat, ketika aku melihat seorang pria dengan janggut hitam bersandar pada sebuah tiang dan memandangku.  Dalam hatiku terlintas bahwa orang itu kurang memperlihatkan penghormatan kepada Ka’bah, tetapi aku tidak mengatakan apa-apa mengenainya dan mengenai persoalan itu. 

“Ia memandangku dan memarahiku dengan berkata, ‘Hei bodoh, tidakkah kau tahu bahwa kemuliaan hati orang beriman lebih berharga daripada keistimewaan Ka’bah?  Mengapa engkau mengkritikku di dalam hatimu karena aku berdiri membelakangi Ka’bah dan wajahku mengarah padamu.  Apakah kau tidak mendengar nasihat Syekh di Madinah yang mengatakan kepadamu untuk tidak mengkritik?’  Aku mengejarnya dan meminta maaf, mencium tangan dan kakinya dan memohon bimbingannya menuju Allah.  Ia berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, hartamu dan kunci untuk kalbumu bukan di daerah ini, tetapi di India.  Syekhmu berada di sana.  Pergilah ke sana dan beliau akan menunjukkan apa yang harus kau lakukan.’  Aku tidak menjumpai seseorang yang lebih baik darinya di seluruh Masjidil Haram.  Ia tidak mengatakan kepadaku India mana yang harus kutuju, sehingga aku kembali ke Syam dan berkumpul bersama ulama-ulama di sana.” 

Ia kemudian kembali ke Sulaymaniyyah dan melanjutkan ajarannya mengenai penyangkalan diri.  Ia selalu mencari orang yang dapat menunjukkan jalan baginya.  Akhirnya, ada seseorang yang datang ke Sulaymaniyyah.  Beliau adalah Syekh Mawlana Mirza Rahimullah Beg al-M`aruf, yang dikenal dengan nama Muhammad ad-Darwish `Abdul `Azim al-Abadi, salah seorang khalifah dari Qutub al-A`zham, `Abdullah ad-Dahlawi (q).  Ia berjumpa dengannya dan memberinya penghormatan dan bertanya mengenai mursyid kamil yang dapat menunjukkan jalan baginya.  Beliau mengatakan, “Ada seorang Syekh kamil, seorang Ulama dan Arifin, yang menunjukkan jalan pada salik menuju Raja Diraja, seorang yang ahli dalam urusan-urusan pelik, mengikuti Tarekat Naqsybandi, membawa akhlak Nabi (s), seorang mursyid dalam Ilmu Spiritual.  Ikutlah denganku untuk berkhidmah kepadanya di Jehanabad.  Sebelum aku berangkat, beliau berkata kepadaku, ‘Kau akan bertemu seseorang, ajaklah ia bersamamu.’” 

Syekh Khalid pindah ke India pada tahun 1224 H./1809 M. melalui kota Ray, kemudian Tehran, dan beberapa provinsi di Iran di mana ia bertemu dengan seorang ulama besar Isma`il al-Kashi.  Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Kharqan, Samnan, dan Nisapur.  Ia mengunjungi Master dari semua induk Tarekat di Bistham, Syekh Bayazid al-Bisthami, dan ia memujinya di makamnya dengan puisi Persia yang sangat fasih.  Kemudian ia bergerak ke Tus, di mana ia mengunjungi as-Sayyid al-Jalal al-Ma'nas al-Imam `Ali Rida, dan ia memujinya dengan puisi Persia lainnya yang membuat semua penyair di Tus menerimanya.  Kemudian ia memasuki kota Jam dan ia mengunjungi asy-Syekh Ahmad an-Namiqi al-Jami dan ia memujinya dengan puisi Persia lainnya.  Kemudian ia memasuki kota Herat di Afghanistan, kemudian Kandahar, Kabul, dan Peshawar.  Di semua kota ini, ulama-ulama besar yang ditemuinya akan menguji pengetahuannya mengenai Syari`ah dan Makrifat, begitu pula di bidang logika, matematika, dan astronomi.  Mereka mendapati bahwa ia bagaikan sungai yang luas, yang mengalir dengan ilmu, atau seperti samudra tak bertepi.

Kemudian ia pindah ke Lahore, di mana ia bertemu dengan Syekh Tsana'ullah an-Naqsybandi dan meminta doa restunya.  

Ia mengingat,  

“Malam itu aku tidur di Lahore dan aku bermimpi di mana Syekh Tsana'ullah an-Naqsybandi menarikku dengan giginya.  Ketika aku bangun, aku ingin menceritakan mimpi itu padanya, tetapi beliau berkata, ‘Jangan menceritakan mimpimu kepadaku.  Kami sudah mengetahuinya.  Itu adalah tanda untuk melanjutkan perjalanan menuju saudaraku dan Syekhku, Sayyidina `Abdullah ad-Dahlawi (q).  Pembukaan kalbumu ada di tangannya.  Kau akan mengambil bay’at dalam Tarekat Naqsybandi.’  Kemudian aku mulai merasakan daya tarik spiritual dari Syekh.  Aku meninggalkan Lahore, menyeberangi gunung dan lembah dan gurun sampai aku sampai di Kesultanan Delhi yang dikenal dengan Jehanabad.  Perlu satu tahun untuk mencapai kota ini.  Empat puluh hari sebelum aku sampai, beliau mengatakan kepada murid-muridnya, ‘Penerusku akan datang.’”

Malam ketika ia memasuki kota Jehanabad ia menulis puisi dalam bahasa Arab, menelusuri tahun-tahun perjalanannya dan memuji Syekhnya.  Kemudian ia memujinya dengan puisi dalam bahasa Persia yang memukau orang-orang karena kefasihannya.  Ia memberikan segala yang dibawanya dan semua yang ada di sakunya kepada fakir miskin.  Kemudian ia dibay’at oleh Syekhnya, `Abdullah ad-Dahlawi (q). Ia berkhidmah di zawiyahnya dan membuat perkembangan pesat dalam berjuang melawan diri (nafs).  Lima bulan belum berlalu ketika ia menjadi salah seorang di antara orang-orang dari Hadratillah dan yang mempunyai Visi Ilahiah. 

Ia memohon izin dari Syekh `Abdullah untuk kembali ke Iraq.  Syekh kemudian memberinya otoritas tertulis terhadap lima tarekat.  

Yang pertama adalah Tarekat Naqsybandi, atau Silsilah Keemasan, yang menjadi subjek dari buku ini.

Yang kedua adalah Tarekat Qadiri melalui Syekh dari Sayyidina Ahmad al-Faruqi, Syah as-Sakandar dan dari sana kepada Sayyidina `Abdul Qadir Jilani, al-Junayd, as-Sirra as-Saqati, Musa al-Kazim, Ja`far ash-Shadiq (a), Imam al-Baqir (a), Zain al-`Abidiin (a), al-Husayn (a), al-Hasan (a), `Ali ibn Abi Thalib (r), dan Sayyidina Muhammad (s).

Tarekat ketiga adalah as-Suhrawardiyya, mata rantai silsilahnya serupa dengan Silsilah Qadiriyyah sampai al-Junayd, yang kembali kepada Hasan al-Basri dan setelah itu kepada Sayyidina `Ali (r) dan Nabi (s).

Beliau juga memberinya otoritas dalam Tarekat Kubrawiyyah, yang mempunyai jalur yang sama seperti Qadiriyyah, tetapi melalui Syekh Najmuddin al-Kubra.

Terakhir, ia diberi otoritas dalam Tarekat Chisti melalui suatu jalur dari `Abdullah ad-Dahlawi (q) dan Jan Janan (q) kepada Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q) dan kemudian melalui banyak syekh kepada Syekh Mawrad Chishti, Nasir Chishti, Muhammad Chishti, dan  Ahmad Chishti kepada Ibraham ibn Adham, Fudayl ibn al-`Iyad, Hasan al-Basri, Sayyidina `Ali (r), dan Nabi (s).

Beliau memberinya otoritas untuk mengajar semua Ilmu Hadits, Tafsir, Sufisme, dan Awrad.  Ia mampu menghafal Kitab Itsna `Asyari (Dua Belas Imam), yang merupakan sumber rujukan mengenai ilmu dari keturunan Sayyidina `Ali (r).

Ia lalu pindah ke Baghdad pada tahun 1228 H./1813 M. untuk kedua kalinya dan ia tinggal di Madrasah Ahsa'iyya Isfahaniyyah.  Ia mengisi waktunya dengan memperdalam ilmu-ilmu Allah dan memperbanyak Zikrullah. Kemudian beberapa orang yang iri menulis surat berisi kritikan kepadanya dan mengirimkannya kepada Sultan, Sa`id Pasha, gubernur Baghdad.  Mereka menuduhnya kufur dan mengkritiknya dengan tuduhan-tuduhan lain yang tidak dapat diulangi.  Ketika gubernur membaca surat itu, ia berkata, “Jika Syekh Khalid al-Baghdadi (q) bukan seorang yang beriman, lalu siapa yang beriman?”  Ia lalu mengusir musuh-musuh yang iri tersebut dari hadapannya dan memenjarakan mereka.

Syekh meninggalkan Baghdad untuk beberapa waktu dan kemudian kembali lagi untuk ketiga kalianya.  Ia kembali ke madrasah yang sama yang saat itu telah direnovasi untuk menyambutnya.  Ia mulai menyebarkan berbagai ilmu spiritual dan ilmu surgawi.  Ia menyingkap rahasia-rahasia Hadratillah, menerangi kalbu manusia dengan cahaya yang Allah berikan ke dalam kalbunya, sampai gubernur, para ulama, guru-guru, para pekerja dan orang-orang dari berbagai latar belakang menjadi pengikutnya.  Baghdad pada zamannya sangat terkenal akan ilmunya, sehingga kota itu disebut “Tempat bagi Dua Macam Ilmu,” dan “Tempat bagi Dua Matahari.”  Serupa dengan hal itu, ia juga dikenal sebagai “Yang Mempunyai Dua Sayap” (dzu-l-janahayn), sebuah kiasan bagi penguasaan ilmu lahir dan batin yang dimilikinya.  Ia mengirimkan khalifah-khalifahnya ke mana-mana, dari Hijaz ke Iraq, dari Syam (Suriah) ke Turki, dari Iran ke India, dan Transoxania (wilayah sekitar Uzbekistan sekarang), untuk menyebarkan jalan para pendahulunya di Tarekat Naqsybandi.

Ke mana pun ia pergi, orang-orang akan mengundangnya ke rumah-rumah mereka, dan rumah mana pun yang ia masuki, rumah itu menjadi makmur.  Suatu hari ia mengunjungi Kubah Batu (Qubbat ash-Shakhrah) di Yerusalem bersama banyak pengikutnya.  Ia sampai di Kubah Batu dan khalifahnya, `Abdullah al-Fardi, keluar untuk bertemu dengannya bersama sekelompok orang.  Beberapa orang Kristen memintanya untuk masuk ke dalam Gereja Kumama untuk memberkatinya dengan kehadirannya.  Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke al-Khalil (Hebron), kotanya Nabi Ibrahim (a), ayah dari semua Nabi, dan ia disambut oleh orang-orang di sana.  Ia masuk ke dalam Masjid Ibrahim al-Khalil dan ia mengambil keberkahan dari dindingnya.  

Ia pergi lagi ke Hijaz untuk mengunjungi Baitullah (Ka`bah suci) pada tahun 1241 H/1826 M.  Sekelompok besar khalifah dan murid-muridnya turut menemaninya.  Kotanya Masjidil Haram beserta para ulama dan Awliyanya keluar untuk menemuinya dan semuanya mengambil bay’at darinya.  Mereka memberinya kunci-kunci kedua Kota Suci dan mereka menganggapnya sebagai Syekh Spiritual bagi Dua Kota Suci.  Ia melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah, tetapi pada hakikatnya Ka’bah yang memutarinya. 

Setelah hajinya dan berziarah ke makam Nabi (s), ia kembali ke Syam asy-Syarif (Suriah yang diberkati).  Ia diterima dengan hangat oleh Sultan Ottoman, Mahmud Khan, di mana ketika ia memasuki Syam, sebuah parade yang sangat besar diadakan dan 250.000 orang menyambutnya di gerbang kota.  Semua ulama, menteri, Syekh, orang kaya dan miskin datang untuk turut mengambil keberkahan dan meminta doanya.  Itu bagaikan sebuah hari raya.  Para penyair melantunkan puisi mereka dan orang-orang kaya memberi makan pada fakir miskin.  Semua orang sama di hadapannya ketika ia memasuki kota.  Ia membangkitkan ilmu Spiritual dan ilmu lahir dan menyebarkan cahaya itu sehingga orang-orang, baik Arab dan non-Arab menerima Tarekat Naqsybandi dari tangannya. 

Pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan tahun 1242 H./1827 M. ia memutuskan untuk mengunjungi Quds (Yerusalem) dari Damaskus.  Murid-muridnya sangat senang dan ia berkata, “Alhamdulillah, kita akan melakukannya jika Allah memanjangkan umur kita, setelah Ramadan, pada awal Syawal.”  Itu merupakan tanda bahwa ia mungkin akan meninggalkan dunia fana ini. 

Pada hari pertama di bulan Syawal, wabah penyakit mulai menyebar dengan cepat di kota Syam (Damaskus).  Salah satu muridnya memintanya untuk mendoakan dirinya agar selamat dari wabah itu, dan ia menambahkan, “Dan untukmu juga Syekhku.”  Ia berkata, “Aku merasa malu di hadapan Tuhanku, karena niatku ketika datang ke Syam adalah untuk mati di Tahan Suci ini.” 

Yang pertama meninggal dunia adalah putranya, Bahauddin, pada malam Jumat dan ia berkata, “Alhamdulillah, ini adalah jalan kami,” dan ia menguburkannya di Jabal Qasiyun.  Putranya berumur lima tahun lewat beberapa hari.  Anak itu fasih dalam tiga bahasa: Persia, Arab, dan Kurdi, dan ia biasa membaca Qur’an.

Kemudian, pada tanggal 9 Dzul-Qaidah, putrnya yang lain, Abdur Rahman juga meninggal dunia.  Ia lebih tua setahun dari adiknya.  Mawlana Khalid (q) memerintahkan murid-muridnya untuk menggali makam untuk menguburkan putra keduanya.  Ia berkata, “Di antara murid-muridku, banyak yang akan meninggal dunia.” Ia memerintahkan mereka untuk menggali lebih banyak untuk murid-muridnya, termasuk istri dan putrinya, dan ia memerintahkan mereka untuk mengairi daerah itu.  Kemudian ia berkata, “Aku memberi otoritas sebagai penerusku dalam Tarekat Naqsybandi kepada Syekh Isma`il asy-Syirwani.”  Ia mengatakan hal ini pada tahun kematiannya, 1242 H./1827 M.

Suatu hari ia berkata, “Aku mendapat suatu penglihatan spiritual yang luar biasa kemarin: aku melihat Sayyidina `Utsman Dzun-Nurayn (r) seolah-olah beliau wafat dan aku melakukan salat untuknya.  Beliau membuka matanya dan berkata, ‘Ini adalah dari keturunanku.’  Beliau menggandeng tanganku dan membawanya kepada Nabi (s), dan berkata kepadaku agar membawa seluruh murid Naqsybandi di zamanku dan di zaman setelahku hingga zamannya Mahdi (a), dan beliau memberkati mereka.  Kemudian aku keluar dari penglihatan itu, dan aku melakukan salat Maghrib bersama anak-anak dan murid-muridku.

“Rahasia apapun yang kumiliki telah kuberikan kepada deputiku, Isma`il asy-Syirwani.  Siapa yang tidak menerimanya, berarti ia bukan bagian dariku.  Jangan berdebat, jadilah satu pikira dan ikuti pendapatnya Syekh Isma`il.  Aku menjamin siapapun di antara kalian yang menerima dan mengikutinya, ia akan bersamaku dan bersama Nabi (s).” 

Ia memerintahkan mereka agar tidak menangisinya, dan ia meminta mereka untuk menyembelih hewan dan memberi makan fakir miskin demi kecintaan kepada Allah dan demi kehormatan Syekh.  Ia kemudian meminta mereka untuk mengirimkan bacaan Qur’an dan doa.  Ia memerintahkan mereka untuk tidak menulis apa-apa di makamnya, kecuali “Ini adalah makam Sang Ghariib (orang asing) Khalid.” 

Setelah `Isya' ia masuk ke dalam rumahnya, memanggil semua keluarganya, dan menasihati mereka, “Aku akan meninggal dunia pada hari Jumat.”  Mereka tinggal bersamanya sepanjang malam.  Sebelum Fajr, ia bangun, berwudu dan salat sebentar.  Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya dan berkata, “Tidak ada yang boleh memasuki kamar ini kecuali atas perintahku.”  Ia berbaring di sisi kanan, menghadap Qiblah, dan berkata, “Aku telah terkena wabah dan aku akan menanggung semua wabah yang diturunkan di Damaskus.”  Ia mengangkat tangannya dan berdoa, “Siapapun yang terkena wabah, biarkan wabah itu mengenaiku dan selamatkan semua orang di Syam.” 

Hari Kamis tiba, dan semua Khalifahnya masuk ke kamarnya.  Sayyidina Isma`il asy-Syirwani bertanya, “Bagaimana perasaanmu?”  Ia berkata, “Allah telah mengabulkan doaku.  Aku akan membawa semua wabah dari semua orang di Syam dan aku sendiri akan meninggal dunia pada hari Jumat.”  Mereka menawarinya air, tetapi ia menolak, dan berkata, “Aku meninggalkan dunia untuk bertemu Tuhanku.  Aku telah menerima untuk membawa semua wabah dan membebaskan orang-orang yang terinfeksi di Syam.  Aku akan meninggal pada hari Jumat.” 

Ia membuka matanya dan berkata, “Allahu haqq, Allahu haqq, Allahu haqq,” ikrar yang dibaca dalam bay’at Tarekat Naqsybandi, dan ia membaca ayat 27-30 dari Surat al-Fajr: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya!  Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku!  Masuklah ke dalam Surga-Ku!”  Kemudian ia menyerahkan jiwanya kepada Tuhannya dan ia pun wafat, seperti yang telah diprediksikannya, pada tanggal 13 Dzul Qaidah, 1242 H./1827 M.  Mereka membawanya ke madrasahnya dan memandikannya dengan air yang penuh cahaya.  Mereka mengkafaninya sambil berzikir, khususnya Syekh Isma`il asy-Syirwani, Syekh Muhammad, dan Syekh Aman. Mereka membaca Qur’an di sekelilingnya dan di pagi harinya, mereka membawanya ke sebuah masjid di Yulbagha.

Syekh Isma`il asy-Syirwani meminta Syekh Aman `Abdin untuk melakukan salat jenazah untuknya. Masjid tidak mampu mengakomodasi semua orang yang hadir.  Dikatakan bahwa lebih dari 300.000 orang melakukan salat di belakangnya.  Syekh Isma`il berjanji kepada orang-orang yang tidak bisa melakukan salat di masjid bahwa ia akan melakukan salat jenazah kedua kalinya di makam.  Orang-orang yang memandikannya membawa jenazahnya ke kuburnya.  Hari berikutnya, Sabtu, seolah-olah suatu keajaiban terjadi di Syam, wabah itu tiba-tiba menghilang dan tidak ada lagi orang yang meninggal dunia. 

Mawlana Khalid meneruskan Rahasianya kepada penerusnya Syekh Isma`il asy-Syirwani (q). 


Sang Guru Syekh Abdullah Ad Dihlawi






















Abah Lutfi Menggunakan Imamah Hijau


Jadwal Kegiatan Tahun 2015 Himpunan Astronom Amatir Jakarta


klik untuk memperbesar gambar

Ayo Perbanyak Solawat

download win hisab versi 2.96 via ziddu

SARKUB TECH MELEK IPTEK

UNIVERSITAS MENYAN INDONESIA

Santri

PISS - KTB

Total tayangan laman

4