,

,

Jumat, 07 Agustus 2015

KH. Soeratmo Muhammad Idris Kacangan Boyolali


Dasar - Dasar Tarekat Syadziliyah


  1. Iltizamut Taqwa Bi Tarkil Muharramat (Menekankan ketakwaan dengan cara meninggalkan perkara – perkara yang dilarang oleh syar’i). Jama’ah As-Syadziliyyah harus dapat menjaga kewajiban – kewajiban syar’i dengan cara jangan sampai melakukan perbuatan yang melebihi batas serta dapat merusak ibadahnya sendiri. Misalnya saja dengan cara tidak melakukan tindakan suka memaki orang lain serta dengki terhadap selainnya. Karena dua perbuatan itu bersifat merusak. Dan kedua perbuatan tersebut juga jelas – jelas dilarang oleh syar’i. Sikapnya senantiasa ingin terhadap kesungguhan bersama Allah Swt dalam setiap perbuatannya. Syadziliyyin harus mementingkan lebih banyak hal – hal yang tidak dianggap jelek dari sisi kemanusiaan daripada hal – hal yang dianggap negative. Karena langkah yang demkian bagi As-Syadziliyyah tidak akan dapat dilakukan oleh seseorang terkecuali orang tersebut memiliki rasa khaufullah (takut terhadap Allah Swt).
  2. Al-‘Amal Bil Asbab (Bekerja dengan beberapa sebab). Memiliki pekerjaan jelas yang dapat menyempurnakan ketakwaan serta melanggengkannya. Itulah maksudnya. Jadi pekerjaan – pekerjaan yang nampak jelas kesyubhatannya harus dijauhi. Karena pekerjaan yang demikian (nampak kesyubhatannya) tidak akan dapat membawa serta menambah pada derajat ketakwaan seseorang.
  3. At-Tayaqudz Limawaridil Asyyai Wa Mashadiriha (Bangkit untuk menunjukkan jalannya berbagai urusan serta sumber – sumbernya). Syadziliyin harus hidup proaktif terhadap berbagai persoalan hidup. Karena Allah Swt tidak menyukai sikap Amqat (Klemah – klemeh)
  4. Suhbatu Ahlil Ma’rifah Wal ‘Ilmi (Bersahabat dengan ahli ma’rifat dan ahli ilmu). Ahlul Ma’rifat dan Ahlul ‘Ilmi menurut pandangan As-Syadziliyyah dapat melihat beberapa hal yang menjadi kekurangan kita. Dan mereka juga dapat menunjukkan kita kepada jalan menuju Allah Swt yang benar.
  5. Mujanabatu Ahlil Ghirrah Wal Aghraz (Menjauhi orang – orang yang suka pada kelengahan dan pembangkangan). Jama’ah As-Syadziliyah tidak diperkenankan bergaul akrab dengan orang – orang yang tidak mendorong bangkitnya semangat baik tindakan atau ucapan – ucapannya kepada jalan Allah Swt. Pergaulan itu dapat membawa karakter seseorang. Jika salah dalam pergaulan maka dapat saja seseorang berada dalam karakter yang salah.
  6. Iltizamul Adab (Menekankan budi pekerti yang baik tashawwuf semuanya adalah adab. Setiap waktu itu ada adabnya. Dan setiap hal itu juga mempunyai adab. Maka barangsiapa yang membiasakan diri dengan adab, dia akan sampai pada derajat Rijal.
  7. I’thaul Auqat Haqqaha (Menggunakan waktu pada tempatnya) Pemanfaatan waktu bagi As-Syadziliyyah dianggap amat penting. Karena waktu itu berjalan. Dan jika telah berlalu maka akan menjadi sulit untuk mengejarnya. As-Syadiliyah tidak respect terhadap perilaku mensia – siakan waktu.
  8. Tarkut Takalluf Fil Harakat (Meninggalkan pemaksaan diri dalam setiap gerakan) Janganlah berlebih – lebihan dalam setiap urusan, sehingga sampai memaksakan diri dengan melebihi kemampuan. Karena takalluf itu dapat membawa hasil yang kurang baik.

Mengenang Bom Nuklir Hiroshima & Nagasaki 70 Tahun Lalu


















Tarekat Syadziliyah Dari Timur Sampai Barat (Bag. 3)




Di Solo dan sekitarnya tarekat Syadziliyah sudah berkembang lama. Kiai Imam Rozi (Singo Manjat) pendiri Pondok Pesantren Singo Manjat Tempursari Klaten ada salah satu mursyidnya. Sama seperti di Sumolangu di kemudian hari banyak anak cucu dan muridnya yang melanjutkan kemursyidan tarekat Syadziliyah.

Kiai Imam Razi adalah putra Kiai Maryani bin Kiai Wirononggo II bin Kiai Wirononggo I bin Kiai Singo Hadiwijoyo bin Kiai Tosari bin Kiai Ya’kub bin Kiai Ageng Kenongo. Ia lahir pada tahun 1801 M. Sejak kecil ia belajar agama dari ayahnya, Kiai Maryani, kemudian berguru kepada Kiai Rifai, yang sekarang makamnya ada di Gathak Rejo, Drono Klaten. Ia juga berguru kepada Kiai Abdul Jalil Kalioso bersama Kiai Mojo, Penasihat Pangeran Diponegoro.

Kiai Abdul Muid adalah dzuriyah beliau dari melaui jalur Ibu Ny. Thohir, putri Kiai Zaid, yang berasal dari Gabudan, Solo. Kiai Muid inilah yang melanjutkan pembaitan tarekat Syadziliyah. Kiai Muid belajar kepada Syekh Abdurrohman Al Hasani Somalangu dan Kiai Idris bin Zaid Jamsaren Solo. Beliau wafat hari Jumat Pahing, 8 Shafar 1360 H bertepatan tanggal 7 Maret 1941.

Di Boyolali tarekat ini disebarkan kembali oleh murid Kiai Muid yakni Kyai Soeratmo Muhammad Idris atau yang lebih dikenal dengan Mbah Idris Kacangan, dilahirkan pada tanggal 1 april 1913 M, putra KH. Amir Hasan Yogyakarta dan Ny. Aisyah binti KH. Idris Boyolali. Beliau wafat pada hari rabu pon tanggal 26 Jumadil Akhir 1423 H/4 September 2002.

Beliau mendalami dan Bai’at Thoriqoh Szadziliyyah sejak muda kepada beberapa mursyid/Guru Thoriqoh, antara lain KH. Abdul Mu’id Tempursari Klaten, KH. Ahmad Siroj Keprabon, Solo, KH. Abdul Rozaq Tremas Pacitan dan KH. Ahmad Ngadirejo, Solo dan KH. M. Idris Jamasaren, Solo.

Bertemu langsung dengan Syeikh Soleh Mufthi Al Hanafi di Makkatul Mukaromah dan syeikh Ahmad Nahrowi Muhtarom Al Banyumasi Makkah. Semenjak beliau menjadi Mursyid, telah puluhan ribu jumlah anggota yang diasuh, terdiri dari berbagai macam lapisan masyarakat. Bahkan beberapa bulan sebelum beliau wafat, beliau masih sempat memba’aiat sekitar 200 orang sambil tiduran karena sudah udzur atau sakit, dan dilakukan bersama atau dijamak.

Selanjutnya ada juga putra Kiai Muid yakni KH. Muh Ma’ruf Mangunwiyoto Jenengan, Solo, murid sekaligus anak yang meneruskan pembaitan tarekat Syadziliyah. Penulis sempat membaca salah satu karya beliau berupa manakib Imam Asy Syadzili dalam bahasa jawa.


Murid lain Kiai Muid yang mengembangkan tarekat Syadziliyah adalah KH. Muhammad Samiun bin Muhamad Ma'sum Karangsalam Banyumas. Kiai Samiun belajar tarekat Syadziliyah kepada KH Abdullah bin Abdul Muthalib Kaliwungu, Kendal. Penerus tarekat beliau adalah KH Zaid Abu Mansyur Lesmana dan KH Abu Hamid Beji.

KH. Abu Hamid Beji



Tarekat Syadziliyah Dari Timur Sampai Barat (Bag. 2)


Somalangu & Tarekat Syadziliyah

Di Jawa tengah selain Habib Lutfi tarekat syadziliyah juga disebarkan oleh Syekh Afifuddin bin Chanifuddin bin Mahfudz bin Abdurrohman Al Hasani yang berpusat di ponpes Al Kahfi, Somalangu, Sumberadi, Kebumen, alhamdulillah penulis sempat bertemu dengan sahabat saya yang merupakan santri Somalangu, Yusuf, bahkan sempat di berikan batu akik sebagai kenang-kenangan.

Sepulang mondok di Watucongol, Muntilan Syekh Abdurrohman Abdurrohman Al Hasani mengangkat putranya Mahfudz muda menjadi mursyid Thariqah As-Syadziliyah penerus beliau. Tepatnya di usia yang masih 17 tahun, sepulangnya Syeikh As_Sayid Mahfudz pulang dari Pesantren Watucongol, Muntilan beliau diangkat oleh ayahnya menjadi mursyid Thariqah As-Syadziliyyah pada tahun 1336 H/1918 M.

Untuk mengenang peristiwa ini, Syeikh Mahfudz Al-Hasani menyusun sebuah kitab manakib berjudul “Sirajul Qulub” (pelita hati) (1337 H), memuat sejarah perjalanan Imam Abul Hasan Ali As-Syadzili dan faham tasawufnya sampai dengan sanad silsilah ijazah kemursyidan yang sampai kepada beliau.

Mbah Dalhar Watucongol Muntian 

Dari Kebumen kita ke lereng tidar tepatnya di Pesantren Watucongol Muntilan asuhan Kiai Dalhar. Dari sini tarekat syadziliyah disebarkan oleh Mbah Dalhar dan kemudian dilanjutkan oleh anaknya KH. Ahmad Abdu Haq. dari Mbah Dulhaq ijazah kemusrsyidan diturunkan kepada Mbah Sadjadi atau Kiai Abdul Ghoni, 

Beliau juga memperoleh tarekat ini dari Kiai Ma’ruf Mangunwiyoto Tempursari Klaten. Mbah Sadjadi menyebarkan tarekat ini di pusat kota surakarta tepatnya di Masjid Jami M. Thohir Jl. Yosoroto Belakang BSM KC, Laweyan, Solo, Surakarta.

Mbah Sadjadi menghembuskan nafas terakhir pada Sabtu Pon 21 Maret 1987 bertepatan dengan 22 Rajab 1407 H sekitar pukul 19.00 WIB. Beliau pergi dalam usia 68 tahun. Kepergiannya membawa duka bagi keluarga, sahabat, para ulama dan santri-santri beliau. Kiai Sadjadi meninggalkan seorang istri, Nyai Hj. Chammah Sadjadi, 5 putra dan 3 putri.


Di kaki gunung Sindoro, Parakan Temanggung ada juga salah satu murid Mbah Dalhar yang menjadi mursyid, pejuang revousi ini terkenal dengan ponpes Kyai Parak Bambu Runcing, adalah KH. Muhaiminan Gunardo atau Mbah Hinan (wafat 2 Oktober 2007) putra Raden Abu Hasan, yang lebih dikenal dengan nama K.H. Sumomihardho ini masih keturunan Sri Sultan Hamengkubuwono II.

Sementara ibundanya, Hj. Mahwiyah, adalah putri Kiai Badrun, sesepuh Parakan yang berpengaruh karena kedalaman ilmu agamanya. Salah satu murid KH. Muhaiminan dikenal sebagai pendekar di kota Solo adalah Almarhum KH. Hilal Adnan atau akrab disapa Mbah Kaji pimpinan Thoriqoh Syadziliyah di Solo Jawa Tengah.

Ayo Perbanyak Solawat

download win hisab versi 2.96 via ziddu

SARKUB TECH MELEK IPTEK

UNIVERSITAS MENYAN INDONESIA

Santri

PISS - KTB

Total tayangan laman

4