Meskipun telah mengajar di mana-mana dan telah banyak
pula karyanya, ia masih terus berusaha menimba ilmu dari para ulama dan
habaib, karena merasa ilmunya masih sangat sedikit.
Banyak orang yang menggali ilmu-ilmu agama dari berbagai sumber yang
ada. Mereka ibarat orang yang menggali sumur untuk mengambil airnya.
Jika air yang berada dalam sumur itu jernih, tentu jernih pula air yang
mereka dapatkan. Seandainya airnya keruh, tentu keruh pula air yang
mereka dapatkan, kecuali jika mereka mau bersusah payah untuk
menjernihkannya.
Begitulah pula orang yang mengambil ilmu agama dari sumur-sumurnya,
yakni dari para ahlinya. Mereka akan mendapatkan
pengetahuan-pengetahuan agama yang jernih, bersih, dan sesuai dengan
ajaran agama yang sesungguhnya, apabila sumur-sumur yang mereka ambil
airnya itu adalah sumur yang jernih.
Orang yang menggali sumur, jika telah mendapatkan air yang jernih
yang dibutuhkannya, akan merasa cukup dengannya dan tak akan
membuang waktu untuk menggali sumur-sumur yang lain. Berbeda dengan
sumur pengetahuan, termasuk pengetahuan agama. Seseorang, apalagi
orang-orang yang sangat menggandrungi ilmu, tak akan merasa cukup
menggalinya dari satu sumur, sebanyak apa pun dan sejernih apa pun air
yang terdapat di dalamnya.
Kemudian, orang yang menggali ilmu agama, baik dari satu sumur maupun
dari berbagai sumur yang berbeda, ada yang memanfaatkan airnya untuk
dirinya sendiri, ada yang juga memanfaatkannya untuk orang-orang
lain. Sebagian mereka memberikannya lewat kegiatan-kegiatan mengajar,
sebagian lagi melalui karya-karya yang dihasilkannya, dan tak sedikit
pula dengan keduanya. Cara yang terakhir ini tentu manfaatnya lebih
banyak dibandingkan hanya salah satu, dan beruntunglah mereka yang
melakukan itu.
Mengajar dan Mengajar
Di antara mereka yang beruntung dapat mengambil air dari banyak
sumur yang berbeda, dan kemudian memanfaatkannya bukan hanya untuk
dirinya, melainkan untuk banyak orang dan dilakukannya dengan berbagai
cara, adalah H. Kholilurrohman, Lc., M.A., kiai muda yang sederhana.
Ia mengisi hari-harinya dengan mengabdi di kampus, mengajar kitab-kitab
kuning di masjid, mushalla, dan majelis-majelis ta’lim, berceramah,
serta menulis dan menerjemahkan berbagai buku, juga menulis di
internet. Meskipun demikian, ia masih terus berusaha menimba ilmu dari
para ulama dan habaib, karena merasa ilmunya masih sangat sedikit.
Sikap yang seharusnya dimiliki setiap penuntut ilmu.
Ustadz Kholil, demikian ia biasa disapa, adalah tenaga
pengajar/dosen (PNSl) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits,
yang sejak beberapa tahun terakhir ini diperbantukan di Sekolah Tinggi
Agama Islam (STAI) Al-Aqidah Al-Hasyimiyyah Jakarta.
Ia juga pengasuh pondok pesantren salaf, Nurul Hikmah Karang Tengah,
Tangerang, Banten. Di pondok ini para santri mengkaji kitab kuning dan
menghafal Al-Qur’an. Di pesantren non-formal ini, kini ada sekitar 100
orang santri yang belajar, kebanyakannya pulang-pergi. Di pondok inilah
Ustadz Kholil lebih banyak menghabiskan waktunya.
Bersama adik-adiknya, ia juga mengasuh Pondok Pesantren Tahfizh
Al-Qur’an khusus putri Darul Qur’an Pegaden Barat, Subang, Jawa Barat.
Karena kesibukannya di Tangerang dan Jakarta, hanya beberapa hari
dalam sebulan ia berada di sana. Sehari-harinya pondok ini diasuh oleh
adik-adiknya, yakni Ustadz H. Abdul Qadir al-Hafizh dan Ustadzah Ra’ihatul Jannah al-Hafizhah.
Di samping itu, Ustadz Kholil pun aktif mengajar kitab-kitab salaf
(kitab kuning) di berbagai masjid, mushalla, dan majelis ta’lim,
terutama di wilayah Kecamatan Karang Tengah, Tangerang, seperti
Ciledug, Meruya, Joglo, dan sekitarnya.
Sangat Produktif Menulis
Di tengah-tengah kesibukannya mengajar dan kegiatan-kegiatan lain,
ia selalu menyisihkan sebagian waktunya untuk melakukan sesuatu yang
sangat bermanfaat. Yakni, menulis berbagai buku maupun tulisan-tulisan
singkat, juga menerjemahkan karya-karya ulama. Di usianya yang masih
tergolong muda, baru 38 tahun, telah banyak karya yang dihasilkannya.
Di antara karya-karyanya yang telah diterbitkan adalah Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, 200 halaman (Syahamah Press, Jakarta, 2003), Allah Ada Tanpa Tempat, 30 halaman (Syahamah Press Jakarta, 2002), Membersihkan Nama Ibnu Arabi, Studi Komprehensif Tasawuf Rasulullah, 600 halaman (Fattah Arbah Banten, 2010), Tafsir Istawa, Studi Komprehensif Tafsir Istawa, Allah Ada Tanpa Tempat, 186 halaman (Syahamah Press Jakarta, 2010), Memahami Bid‘ah Secara Komprehensif, 90 halaman (Pustaka Fattah Arbah Banten, 2012), Meluruskan Distorsi dalam Ilmu Kalam, 600 halaman (Pustaka Fattah Arbah Banten, 2010), Mengungkap Kebenaran Aqidah Asy‘ariyyah, Meluruskan Distorsi Terhadap Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, 278 halaman (Pustaka Ta‘awun Tangerang, 2012), Al-Maqalat al-Jami‘ah Li Tahqiq Aqa-id Ahlissunnah wa al-Jama‘ah (Berbahasa Arab, diterbitkan secara terbatas, materi tematis tentang poin-poin penting dalam aqidah Ahlussunnah), Penjelasan Komprehensif dalam Mensucikan Allah dari Arah dan Tempat (dalam penerbitan pustaka Ta’awun Tangerang), terjemahan dari kitab berjudul Ghayah al-Bayan fi Tanzihillah ‘an al-Jihah wa al-Makan”, terbitan Dar al Masyari’ Beirut, Lebanon.
Sedangkan yang masih dalam proses penerbitan adalah Al-Hafizh Ibnul Jawzi Membongkar Kesesatan Aqidah Tasybih (Terjemah Kitab Daf’u Syubah at-Tasybih Bi Akaff at-Tahzih), 250 halaman (Dalam penerbitan Pustaka Ta’awun Tangerang), Al-Fara-id fi Hall Alfazh Jawharah at-Tawhid Min al-Fawa-id (Manuskrip/belum terbit, berbahasa Arab, sekitar 250 halaman), syarh bagi bait-bait Jawharah at Tauhid karya Syaikh Ibrahim Al-Laqqani.
Ini di luar berbagai catatan lepas dalam ratusan judul, termasuk dalam bentuk PDF dan E-book yang dapat di-download di internet. Para pembaca dapat men-download gratis semua catatannya di www.allahadatanpatempat.blogspot.com. Berbagai tulisannya juga dapat dilihat dalam grup facebook;
Aqidah Ahlussunnah: Allah Ada Tanpa Tempat, yang jumlah pengikutnya
telah mencapai ratusan ribu orang. Dan untuk berkoresponden dengannya,
para pembaca bisa mengirimkan e-mail ke
aboufaateh@yahoo.com
Kini ia berdomisili di Jln. Karyawan 3, RT/RW 02/09 Kelurahan Karang
Tengah, Kecamatan Karang Tengah, Tangerang, Banten, berdekatan dengan
Mushalla Nurul Hikmah, yang menjadi salah satu tempat pengabdiannya
mengajarkan kitab-kitab kuning.
Hari-harinya yang padat dilaluinya dengan dukungan sepenuhnya dari
sang istri, yang dinikahinya tahun 2005, Siti Masitoh, wanita Betawi,
anak keenam dari sembilan bersaudara, putri K.H. Muhammad Husin, Pulo
Mancung, Karang Tengah, dan Ibu Hj. Ma’anih. Hingga kini, mereka telah
dikaruniai dua penyejuk mata: Muhammad Fatih dan Muhammad Hud.
Sosok sederhana yang oleh sejawatnya sering disapa “Abu Fateh” ini
lahir di Subang 15 November 1975. Ia putra pasangan H. Muhyiddin bin H.
Abdul Mujib bin H. Soleh dan Hj. Yayah Ruqoyah binti H. Soleh. Ia anak
pertama dari empat bersaudara. Adik pertamanya, H. Abdul Qadir, adalah
seorang hafizh alumnus Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta.
Adik perempuannya, Ra’ihatul Jannah, juga seorang hafizhah, alumnus
Pesantren Yanbu’ul Qur’an, Kudus. Sedangkan adik bungsunya adalah
Khotibul Umam.
Minat dan aktivitasnya sejak remaja tampaknya tak terlepas dari latar
belakang keluarganya, yang memang berbasis pesantren. Ayahnya
alumnus Pondok Pesantren Sempur Plered Purwakarta, Jawa Barat
(pesantren K.H. Tubagus Ahmad Bakri bin Saida Sempur, salah seorang
murid langsung Syaikh Nawawi Al-Bantani). Sementara sang ibu alumnus
salah satu pondok pesantren di Cirebon.
Sanad Keilmuan
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, Kholil muda menimba ilmu
di Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta, pesantren terkemuka di
Jakarta, yang diasuh kiai terkenal, K.H. Syukron Makmun. Di sini ia
menimba ilmu antara tahun 1987 hingga 1993. Kemudian ia melanjutkan
kuliah di tempat yang sama, yakni Institut Islam Daarul Rahman (IID)
Jakarta (S1/Kulliyyatusy Syari’ah wal Qanun) antara tahun 1994
sampai 1998. Tak puas sampai di sini, ia pun mengikuti kuliah di STAI
Az-Ziyadah Jakarta jurusan Ekonomi Islam tahun 1998 hingga 2002. Di
sela-sela itu ia masih memanfaatkan waktunya yang ada untuk mengikuti
Pendidikan Kader Ulama (PKU) DKI Jakarta mulai tahun 1998 hingga tahun
2000.
Pada tahun 2003, sosok yang sangat meminati ilmu ini melanjutkan
studinya di program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
(S2/Pengkajian Islam, Konsentrasi Tafsir Hadits) yang dapat
dituntaskannya tepat waktu pada tahun 2005 dengan tesis berjudul Kualitas Hadits Subhah; Studi Komparatif Metode Tashhih dan Tadl’if Hadits al-Habasyi dan al-Albani.
Di samping pendidikan-pendidikan formal yang dijalaninya, ia juga pernah mengikuti program Tahfizh al-Qur’an di Pondok Pesantren Manba’ul Furqon Leuwiliang Bogor (Non-Intensif). Untuk mendapatkan sanad beberapa
disiplin ilmu kepada beberapa kiai, masyayikh, habaib, di Jawa Barat,
Banten, dan DKI Jakarta, ia juga menimba ilmu secara langsung kepada
mereka, di antaranya kepada K.H. M. Syafi’i Hadzami dan K.H. Bunyamin.
Ijazah sanad keilmuan yang telah didapat, di antaranya, dalam seluruh
karya Syaikh Nawawi Al-Bantani dengan sanad dari K.H. Abdul Jalil
(Senori Tuban) dari K.H. Abul Fadlal dari K.H. Abdul Syakur dari Syaikh
Nawawi Al-Bantani. K.H. Abul Fadlal, selain mendapat sanad dari K.H.
Abdul Syakur, juga mendapat sanad dari K.H. Hasyim Asy’ari (Tebuireng),
dari Syaikh Nawawi Al-Bantani.
Kemudian, dalam seluruh disiplin ilmu-ilmu Islam, ia mendapatkan Ijâzah ‘Âmmah
dari K.H. Abdul Hannan Ma’shum (Kediri) dari K.H. Abu Razin Muhammad
Ahmad Sahal Mahfuzh (Pati) dari K.H. Zubair ibn Dahlan (Sarang) dan dari
Al-Musnid Syaikh Yasin Al-Padani.
Kemudian lebih intensif ia belajar kepada murid-murid Al-Imam Al-Hâfizh Syaikh Abdullah Al-Harari, di antaranya Asy-Syaikh As-Sayyid Salim
bin Mahmud Alwan Al-Husaini, Syaikh Fawwaz Abbud, Syaikh Bilal
Al-Humaishi, Syaikh Sayyid Khalil bin Abdul Qadir Dabbagh Al-Husaini,
Syaikh Muhammad Asy-Syafi’i Al-Muththalibi, Syaikh Sayyid Umar bin Adnan
Dayyah Al-Hasani, Syaikh Sayyid Muhammad Awkal Al-Husaini, Asy-Syaikh
Al-‘Allamah Ahmad Tamim (mufti Ukraina), Syaikh Mohammad Osman. Dengan
Syaikh Sayyid Salim bin Mahmud Alwan, yang kini menjabat ketua
Majelis Fatwa Syar’i di Australia, dari sekitar tahun 1997 hingga
sekarang ia terus belajar dan berkomunikasi dengannya.
Ustadz Kholil juga mendapatkan ijazah Tarekat Al-Qadiriyyah, dengan
sanadnya dari Syaikh Sayyid Salim bin Mahmud Alwan Al-Husaini, dari Al-Imam Al-Hâfizh Syaikh Abdullah Al-Harari, dari Syaikh Abdul Baqi Al-Mukasyafi (Syukainah Sudan), dengan sanadnya hingga kepada As-Sulthan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani.
Ketika dimintai pesannya untuk para pembaca berdasarkan
pengalaman-pengalamannya menggali ilmu-ilmu agama, Ustadz Kholil
menuturkan demikian, “Terutama untuk saya pribadi, dan secara umum
untuk para pembaca alKisah, teruslah belajar. Dan ingat, belajarlah kepada para ulama yang tsiqah, terpercaya, yang dalam keilmuannya memiliki sanad,
mata rantai, yang bersambung hingga para sahabat Rasulullah. Jangan
pelajari urusan agama ini secara otodidak. Jangan berpegang dengan
buku-buku hasil terjemahan literal. Dan ini yang terpenting, jangan
lepaskan aqidah tauhid, aqidah kesucian Allah, dari menyerupai
makhluk-Nya. Kuatkan dalam keyakinan kita, Allah bukan benda yang
memiliki bentuk dan ukuran, dan Allah tidak disifati dengan sifat-sifat
benda. Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah.”
SOURCE: