Sudah lama sekali penulis mencari tulisan ini, akhirnya dapat juga. Selamat manikmati dialog ilmiah Ibnu Athoillah dan Ibnu Taimiyah :
ilustrasi: dialog dua guru besar
Berikut percakapan antara dua orang ulama masyhur dalam
sejarah Islam. Yang pertama adalah Syeikhul Islam Ibnu Taimiah, seorang
ulama ternama yang fatwa-fatwanya banyak diikuti oleh kaum muslimin.
Yang kedua adalah imam Ahmad Ibnu Athaillah As-Sakandari, seorang sufi
penyair yang ajaran-ajarannya menginspirasi dan menjadi rujukan kalangan
sufi. Yang pertama dilahirkan tahun 660 H di kota Harran, Syria (w. 728
H)[1], dan yang kedua dilahirkan sekitar tahun 658 H di kota
Al-Iskandariah (Alexandria), Mesir (w. 709 H).[2]
Syahdan, suatu hari dari Alexandria Ibnu Taimiah berangkat ke Kairo.
Menjelang malam ia menuju masjid Al Ahzar untuk shalat maghrib yang
waktu itu diimami Ibn Athaillah. Selepas shalat, Ibn Athailah terkejut
menemukan Ibn Taymiyah sedang berdoa di belakangnya. Sambil tersenyum,
sang syaikh sufi itu menyambut ramah kedatangan Ibn Taymiyah seraya
berkata: Assalamualaikum ya, Syaikhul Islam! Selanjutnya ia memulai
pembicaraan dengan tamunya yang kesohor dan dikenal vokal mengkritisi
paraktik-praktik bengkok sebagian kaum sufi itu.
———————
Ibn Athaillah: “Biasanya saya sholat di masjid Imam Husein dan sholat
Isya di sini. Tapi lihatlah bagaimana ketentuan Allah berlaku! Allah
menakdirkan sayalah orang pertama yang harus menyambut anda (setelah
kepulangan anda ke Kairo). Ungkapkanlah kepadaku wahai sang faqih,
apakah anda menyalahkanku atas apa yang telah terjadi?”
Ibn Taymiyah: “Aku tahu, anda tidak bermaksud buruk terhadapku, tapi
perbedaan pandangan diantara kita tetap ada. Sejak hari ini, dalam kasus
apapun, aku tidak mempersalahkan dan membebaskan dari kesalahan,
siapapun yang berbuat buruk terhadapku”.
Ibn Athaillah: Apa yang anda ketahui tentang aku wahai, syaikh Ibn Taymiyah?
Ibn Taymiyah : Setahuku anda adalah seorang yang saleh, berpengetahuan
luas, dan senantiasa berbicara benar dan tulus. Tidak ada orang
sebagaimana anda, baik di Mesir maupun Syria yang lebih mencintai Allah
ataupun mampu meniadakan diri di (hadapan) Allah atau lebih patuh atas
perintahNya serta menjauhi laranganNya.
Tapi bagaimanapun juga kita memiliki perbedaan pandangan. Apa yang anda
ketahui tentang saya? Apakah anda atau saya sesat dengan menolak
kebenaran (praktik) meminta bantuan seseorang untuk memohon pertolongan
Allah (istighatsah)?
Ibn Athaillah: Tentu saja, rekanku, anda tahu bahwa istighatsah atau
memohon pertolongan sama dengan tawasul atau mengambil wasilah
(perantara) dan meminta syafaat; dan bahwa Rasulullah saw, adalah
seorang yang kita harapkan bantuannya karena beliaulah perantara kita
dan yang syafaatnya kita harapkan.
Ibn Taymiyah: Mengenai hal ini saya berpegang pada sunnah rasul yang
ditetapkan dalam syariat. Dalam hadits berbunyi sebagai: “Aku telah
dianugerahkan kekuatan syafaat”. Dalam ayat al Qur’an juga disebutkan:
“Mudah-mudahan Allah akan menaikkan kamu (wahai Nabi) ke tempat yang
terpuji (q.s. Al Isra : 79). Yang dimaksud dengan tempat terpuji adalah
syafaat. Lebih jauh lagi, saat ibunda khalifah Ali ra wafat, Rasulullah
berdoa pada Allah di kuburnya: “Ya Allah Yang Maha Hidup dan Tak pernah
mati, Yang Menghidupkan dan Mematikan, ampuni dosa-dosa ibunda saya
Fatimah binti Asad, lapangkan kubur yang akan dimasukinya dengan
syafaatku, utusanMu, dan para nabi sebelumku. Karena Engkaulah Yang Maha
Pengasih dan Maha Pengampun”.
Inilah syafaat yang dimiliki rasulullah saw. Sementara mencari
pertolongan dari selain Allah, merupakan suatu bentuk kemusyrikan;
Rasulullah saw sendiri melarang sepupunya, Abdullah bin Abbas, memohon
pertolongan dari selain Allah.
Ibn Athaillah : Semoga Allah mengaruniakanmu keberhasilan, wahai sang
faqih! Maksud dari saran Rasulullah saw kepada sepupunya Ibn Abbas,
adalah agar ia mendekatkan diri kepada Allah tidak melalui
kekerabatannya dengan rasul melainkan dengan ilmu pengetahuan. Sedangkan
mengenai pemahaman anda tentang istighosah sebagai mencari bantuan
kepada selain Allah, yang termasuk perbuatan musyrik, saya ingin
bertanya kepada anda,” Adakah muslim yang beriman pada Allah dan
rasulNya yang berpendapat ada selain Allah yang memiliki kekuasaaan atas
segala kejadian dan mampu menjalankan apa yang telah ditetapkanNya
berkenaan dengan dirinya sendiri?”
”Adakah mukmin sejati yang meyakini ada yang dapat memberikan pahala
atas kebaikan dan menghukum atas perbuatan buruk, selain dari Allah?
Disamping itu, seharusnya kita sadar bahwa ada berbagai ekspresi yang
tak bisa dimaknai sebatas harfiah belaka. Ini bukan saja dikhawatirkan
akan membawa kepada kemusyrikan, tapi juga untuk mencegah sarana
kemusyrikan. Sebab, siapapun yang meminta pertolongan Rasul berarti
mengharapkan anugerah syafaat yang dimiliknya dari Allah, sebagaimana
jika anda mengatakan: “Makanan ini memuaskan seleraku”. Apakah dengan
demikian makanan itu sendiri yang memuaskan selera anda? Ataukah
disebabkan Allah yang memberikan kepuasan melalui makanan?
Sedangkan pernyataan anda bahwa Allah melarang muslim untuk mendatangi
seseorang selain DiriNya guna mendapat pertolongan, pernahkah anda
melihat seorang muslim memohon pertolongan kepada selain Allah? Ayat Al
quran yang anda rujuk, berkenaan dengan kaum musyrikin dan mereka yang
memohon pada dewa dan berpaling dari Allah. Sedangkan satu-satunya jalan
bagi kaum muslim yang meminta pertolongan rasul adalah dalam rangka
bertawasul atau mengambil perantara, atas keutamaan (hak) rasul yang
diterimanya dari Allah (bihaqqihi inda Allah) dan tashaffu atau memohon
bantuan dengan syafaat yang telah Allah anugerahkan kepada rasulNya.
Sementara itu, jika anda berpendapat bahwa istighosah atau memohon
pertolongan itu dilarang syariat karena mengarah pada kemusyrikan, maka
kita seharusnya mengharamkan anggur karena dapat dijadikan minuman
keras, dan mengebiri laki-laki yang tidak menikah untuk mencegah zina.
(Kedua syaikh tertawa atas komentar terakhir ini).
Lalu Ibn Athaillah melanjutkan: “Saya kenal betul dengan segala
inklusifitas dan gambaran mengenai sekolah fiqih yang didirikan oleh
syaikh anda, Imam Ahmad, dan saya tahu betapa luasnya teori fiqih serta
mendalamnya “prinsip-prinsip agar terhindar dari godaan syaitan” yang
anda miliki, sebagaimana juga tanggung jawab moral yang anda pikul
selaku seorang ahli fiqih.
Namun saya juga menyadari bahwa anda dituntut menelisik di balik
kata-kata untuk menemukan makna yang seringkali terselubung di balik
kondisi harfiahnya. Bagi sufi, makna laksana ruh, sementara kata-kata
adalah jasadnya. Anda harus menembus ke dalam jasad fisik ini untuk
meraih hakikat yang mendalam. Kini anda telah memperoleh dasar bagi
pernyataan anda terhadap karya Ibn Arabi, Fususul Hikam. Naskah tersebut
telah dikotori oleh musuhnya bukan saja dengan kata-kata yang tak
pernah diucapkannya, juga pernyataan-pernyataan yang tidak
dimaksudkannya (memberikan contoh tokoh islam).
Ketika syaikh al islam Al Izz ibn Abd Salam memahami apa yang sebenarnya
diucapkan dan dianalisa oleh Ibn Arabi, menangkap dan mengerti makna
sebenarnya dibalik ungkapan simbolisnya, ia segera memohon ampun kepada
Allah swt atas pendapatnya sebelumnya dan menokohkan Muhyiddin Ibn Arabi
sebagai Imam Islam.
Sedangkan mengenai pernyataan al Syadzili yang memojokkan Ibn Arabi,
perlu anda ketahui, ucapan tersebut tidak keluar dari mulutnya,
melainkan dari salah seorang murid Sadziliyah. Lebih jauh lagi,
pernyataan itu dikeluarkan saat para murid membicarakan sebagian
pengikut Sadziliyah. Dengan demikian, pernyataan itu diambil dalam
konteks yang tak pernah dimaksudkan oleh sang pembicaranya sendiri. “Apa
pendapat anda mengenai khalifah Sayyidina Ali bin Abi Thalib?”
Ibn Taymiyah: Dalam salah satu haditsnya, rasul saw bersabda: “Saya
adalah kota ilmu dan Ali lah pintunya”. Sayyidina Ali adalah merupakan
seorang mujahid yang tak pernah keluar dari pertempuran kecuali dengan
membawa kemenangan. Siapa lagi ulama atau fuqaha sesudahnya yang mampu
berjuang demi Allah menggunakan lidah, pena dan pedang sekaligus? Dialah
sahabat rasul yang paling sempurna-semoga Allah membalas kebaikannya.
Ucapannya bagaikan cahaya lampu yang menerangi sepanjang hidupku setelah
al quran dan sunnah. Duhai! Seseorang yang meski sedikit perbekalannya
namun panjang perjuangannya.
Ibn Athaillah: Sekarang, apakah Imam Ali ra meminta agar orang-orang
berpihak padanya dalam suatu faksi? Sementara faksi ini mengklaim bahwa
malaikat jibril melakukan kesalahan dengan menyampaikan wahyu kepada
Muhammad saw, bukannya kepada Ali! Atau pernahkah ia meminta mereka
untuk menyatakan bahwa Allah menitis ke dalam tubuhnya dan sang imam
menjadi tuhan? Ataukah ia tidak menentang dan memberantas mereka dengan
memberikan fatwa (ketentuan hukum) bahwa mereka harus dibunuh dimanapun
mereka ditemukan?
Ibn Taymiyah: Berdasarkan fatwa ini saya memerangi mereka di pegunungan Syria selama lebih dari 10 tahun.
Ibn Athaillah: Dan Imam Ahmad- semoga Allah meridoinya-mempertanyakan
perbuatan sebagian pengikutnya yang berpatroli, memecahkan tong-tong
anggur (di toko-toko penganut kristen atau dimanapun mereka temukan),
menumpahkan isinya di lantai, memukuli gadis-gadis penyanyi, dan
menyerang masyarakat di jalan. Meskipun sang Imam tak memberikan fatwa
bahwa mereka harus mengecam dan menghardik orang-orang tersebut.
Konsekuensinya para pengikutnya ini dicambuk, dilempar ke penjara dan
diarak di punggung keledai dengan menghadap ekornya. Apakah Imam Ahmad
bertanggung jawab atas perbuatan buruk yang kini kembali dilakukan
pengikut Hanbali, dengan dalih melarang benda atau hal-hal yang
diharamkan?
Dengan demikian, Syaikh Muhyidin Ibn Arabi tidak bersalah atas
pelanggaran yang dilakukan para pengikutnya yang melepaskan diri dari
ketentuan hukum dan moral yang telah ditetapkan agama serta melakukan
pebuatan yang dilarang agama. Sekiranya anda telah memahami hal ini?
Ibn Taymiyah: “Tapi bagaimana pendirian mereka di hadapan Allah? Di
antara kalian, para sufi, ada yang menegaskan bahwa ketika Rasulullah
saw memberitakan khabar gembira pada kaum miskin bahwa mereka akan
memasuki surga sebelum kaum kaya, selanjutnya kaum miskin tersebut
tenggelam dalam luapan kegembiraan dan mulai merobek-robek jubah mereka;
saat itu malaikat jibril turun dari surga dan mewahyukan kepada rasul
bahwa Allah akan memilih di antara jubah-jubah yang robek itu;
selanjutnya malaikat jibril mengangkat satu dari jubah dan
menggantungkannya di singgasana Allah. Berdasarkan ini, kaum sufi
mengenakan jubah kasar dan menyebut dirinya fuqara atau kaum “papa”.
Ibn Athaillah: “Tidak semua sufi mengenakan jubah dan pakaian kasar.
Lihatlah apa yang saya kenakan; apakah anda tidak setuju dengan
penampilan saya?
Ibn Taymiyah: “Tetapi anda adalah ulama syariat dan mengajar di Al Ahzar.”
Ibn Athaillah: “Al Ghazali adalah seorang imam syariat maupun tasawuf.
Ia mengamalkan fiqih, sunnah, dan syariat dengan semangat seorang sufi.
Dan dengan cara ini, ia mampu menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Kita
tahu bahwa dalam tasawuf, noda tidak memiliki tempat dalam agama dan
bahwa kesucian merupakan ciri dari kebenaran. Sufi yang tulus dan sejati
harus menyuburkan hatinya dengan kebenaran yang ditanamkan ahli sunnah.
Dua abad yang lalu muncul fenomena sufi gadungan yang anda sendiri telah
mengecam dan menolaknya. Dimana sebagian orang mengurangi kewajiban
beribadah dan peraturan keagamaan, melonggarkan berpuasa dan melecehkan
pengamalan sholat wajib lima kali sehari. Ditunggangi kemalasan dan
ketidakpedulian, mereka telah mengklaim telah bebas dari belenggu
kewajiban beribadah. Begitu brutalnya tindakan mereka hingga Imam
Qusyairi sendiri mengeluarkan kecaman dalam bukunya ar Risalah (Risalatul Qusyairiyah).
Di sini, ia juga menerangkan secara rinci jalan yang benar menuju Allah,
yakni berpegang teguh pada Al Quran dan Sunnah. Imam tasawuf juga
berkeinginan mengantarkan manusia pada kebenaran sejati, yang tidak
hanya diperoleh melalui bukti rasional yang dapat diterima akal manusia
yang dapat membedakan yang benar dan salah, melainkan juga melalui
penyucian hati dan pelenyapan ego yang dapat dicapai dengan mengamalkan
laku spiritual.
Kelompok diatas selanjutnya tersingkir lantaran sebagai hamba Allah
sejati, seseorang tidak akan menyibukkan diriya kecuali demi
kecintaannya pada Allah dan rasulNYA. Inilah posisi mulia yang
menyebabkan seorang menjadi hamba yang shaleh, sehat dan sentosa. Inilah
jalan guna membersihkan manusia dari hal-hal yang dapat menodai
manusia, semacam cinta harta, dan ambisi akan kedudukan tertentu.
Meskipun demikian, kita harus berusaha di jalan Allah agar memperoleh
ketentraman beribadah. Sahabatku yang cendekia, menerjemahkan naskah
secara harfiah terkadang menyebabkan kekeliruan. Penafsiran harfiahlah
yang mendasari penilaian anda terhadap Ibn Arabi, salah seorang imam
kami yang terkenal akan kesalehannya. Anda tentunya mengerti bahwa Ibn
Arabi menulis dengan gaya simbolis; sedangkan para sufi adalah
orang-orang ahli dalam menggunakan bahasa simbolis yang mengandung makna
lebih dalam dan gaya hiperbola yang menunjukkan tingginya kepekaan
spiritual serta kata-kata yang menghantarkan rahasia mengenai fenomena
yang tak tampak.
Ibn Taymiyah: “Argumentasi tersebut justru ditujukan untuk anda. Karena
saat Imam al-Qusyairi melihat pengikutnya melenceng dari jalan Allah, ia
segera mengambil langkah untuk membenahi mereka. Sementara apa yang
dilakukan para syaikh sufi sekarang? Saya meminta para sufi untuk
mengikuti jalur sunnah dari para leluhur kita yang saleh dan terdahulu:
para sahabat yang zuhud, generasi sebelum mereka dan generasi sesudahnya
yang mengikuti langkah mereka.
Siapapun yang menempuh jalan ini, saya berikan penghargaan
setinggi-tingginya dan menempatkan sebagai imam agama. Namun bagi mereka
yang melakukan pembaruan yang tidak berdasar dan menyisipkan gagasan
kemusyrikan seperti filososf Yunani dan pengikut Budha, atau yang
beranggapan bahwa manusia menempati Allah (hulul) atau menyatu denganNya
(ittihad), atau teori yang menyatakan bahwa seluruh penampakan adalah
satu adanya/kesatuan wujud (wahdatul wujud) ataupun hal-hal lain yang
diperintahkan syaikh anda, teranglah itu perilaku ateis dan kafir”.
Ibn Athaillah: “Ibn Arabi adalah salah seorang ulama terhebat yang
mengenyam pendidikan di Dawud al Zahiri seperti Ibn Hazm al Andalusi,
seorang yang pahamnya selaras dengan metodologi anda tentang hukum
islam, wahai penganut Hanbali! Tetapi meskipun Ibn Arabi seorabg Zhahiri
(menerjemahkan hukum islam secara lahiriah), metode yang ia terapkan
untuk memahami hakekat adalah dengan menelisik apa yang tersembunyi,
mencari makna spiritual (thariq al bathin), guna mensucikan bathin (thathhir al bathin).
Meskipun demikian tidak seluruh pengikut mengartikan sama apa-apa yang
tersembunyi. Agar anda tidak keliru atau lupa, ulangilah bacaan anda
mengenai Ibn Arabi dengan pemahaman baru akan simbol-simbol dan
gagasannya. Anda akan menemukannya sangat mirip dengan al-Qusyairi. Ia
telah menempuh jalan tasawuf di bawah payung al-quran dan sunnah, sama
seperti hujjatul Islam Al Ghazali, yang mengusung perdebatan mengenai
perbedaan mendasar mengenai iman dan isu-isu ibadah namun menilai usaha
ini kurang menguntungkan dan berfaedah.
Ia mengajak orang untuk memahami bahwa mencintai Allah adalah cara yang
patut ditempuh seorang hamba Allah berdasarkan keyakinan. Apakah anda
setuju wahai faqih? Atau anda lebih suka melihat perselisihan di antara
para ulama? Imam Malik ra. telah mengingatkan mengenai perselisihan
semacam ini dan memberikan nasehat: Setiap kali seseorang berdebat
mengenai iman, maka kepercayaannya akan berkurang.”
Sejalan dengan ucapan itu, Al Ghazali berpendapat: Cara tercepat untuk
mendekatkan diri kepada Allah adalah melalui hati, bukan jasad. Bukan
berarti hati dalam bentuk fisik yang dapat melihat, mendengar atau
merasakan secara gamblang. Melainkan, dengan menyimpan dalam benak,
rahasia terdalam dari Allah Yang Maha Agung dan Besar, yang tidak dapat
dilihat atau diraba.
Sesungguhnya ahli sunnahlah yang menobatkan syaikh sufi, Imam
Al-Ghazali, sebagai Hujjatul Islam, dan tak seorangpun yang menyangkal
pandangannya bahkan seorang cendekia secara berlebihan berpendapat bahwa
Ihya Ulumuddin nyaris setara dengan Al Quran. Dalam pandangan Ibn Arabi
dan Ibn Al Farid, taklif atau kepatuhan beragama laksana ibadah yang
mihrab atau sajadahnya menandai aspek bathin, bukan semata-mata ritual
lahiriah saja.
Karena apalah arti duduk berdirinya anda dalam sholat sementara hati
anda dikuasai selain Allah. Allah memuji hambaNya dalam Al Quran:
”(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam sholatnya”; dan Ia mengutuk
dalam firmanNya: “(Yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya”.
Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn Arabi saat mengatakan: “Ibadah bagaikan
mihrab bagi hati, yakni aspek bathin, bukan lahirnya”.
Seorang muslim takkan bisa mencapai keyakinan mengenai isi Al Quran,
baik dengan ilmu atau pembuktian itu sendiri, hingga ia membersihkan
hatinya dari segala yang dapat mengalihkan dan berusaha untuk khusyuk.
Dengan demikian Allah akan mencurahkan ilmu ke dalam hatinya, dan dari
sana akan muncul semangatnya. Sufi sejati tak mencukupi dirinya dengan
meminta sedekah.
Seseorang yang tulus adalah ia yang menyuburkan diri di (hadapan) Allah
dengan mematuhiNya. Barangkali yang menyebabkan para ahli fiqih mengecam
Ibn Arabi adalah karena kritik beliau terhdap keasyikan mereka dalam
berargumentasi dan berdebat seputar masalah iman, hukum kasus-kasus yang
terjadi (aktual) dan kasus-kasus yang baru dihipotesakan (dibayangkan
padahal belum terjadi).
Ibn Arabi mengkritik demikian karena ia melihat betapa sering hal
tersebut dapat mengalihkan mereka dari kejernihan hati. Ia menjuluki
mereka sebagai “ahli fiqih basa-basi wanita”. Semoga Allah
mengeluarkanmu karena telah menjadi salah satu dari mereka! Pernahkan
anda membaca pernyataan Ibn Arabi bahwa: ”Siapa saja yang membangun
keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen
deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa
diandalkan. Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh sangahan-sangahan
balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis melainkan
tercurah dari lubuk hati.” “Adakah pernyataan yang seindah ini?”
Ibn Taymiyah : “Anda telah berbicara dengan baik, andaikan saja gurumu
seperti yang anda katakan, maka ia sangat jauh dari kafir. Tapi
menurutku apa yang telah ia ucapkan tidak mendukung pandangan yang telah
anda kemukakan.” [3]
—————————————-
—————————————-
Catetan
Dialog di atas merupakan terjemahan dari sebuah buku Islamic Beliefs & Doctrine According to Ahl al-Sunna: A Repudiation of “Salafi” Innovations, karya Muhammad Hisyam Kabbani. Pada awal dialog disebutkan sumber referensinya:
Text of the Debate: From Usul al-Wusulby Muhammad Zaki Ibrahim Ibn Kathir, Ibn al-Athir,
and other authors of biographical dictionaries and biographies have
transmitted to us this authentic historical debate. It gives an idea of
the ethics of debate among the people of learning. It documents the
controversy between a pivotal personality in tasawwuf, Shaykh Ahmad Ibn
Ata’ Allah al-Iskandari, and an equally important person of the
so-called “Salafi” movement, Shaykh Ahmad Ibn ‘Abd al-Halim Ibn Taymiyya
during the Mamluke era in Egypt under the reign of the Sultan Muhammad
Ibn Qalawun (al-Malik al-Nasir).[4]
Dari Usul al-Wusul karya Muhammad Zaki Ibrahim Ibn Katsir, Ibn Al
Athir, dan penulis biografi serta kamus biografi, kami memperoleh naskah
dialog bersejarah yang otentik. Naskah tersebut memberikan ilham
tentang etika berdebat di antara kaum terpelajar. Di samping itu, ia
juga merekam kontroversi antara pribadi yang bepengaruh dalam tasawuf:
Syaikh Ahmad Ibn Athaillah Al Sakandari, dan tokoh yang tak kalah
pentingnya dalam gerakan “Salafi” Syaikh Ahmad Ibn Abd Al Halim Ibn
Taymiyah selama era Mamluk di Mesir yang berada dibawah pemerintahan
Sulthan Muhammad Ibn Qalawun (Al Malik Al Nasir).
Muhammad Hisyam Kabbani adalah pemuka Naqsabandi kenamaan yang bermukim
di Amerika. Namun demikian pandangannya berseberangan dengan orang-orang
Naqsabandi kalangan Sufi di Indonesia. Ia menukil dialog tersebut dari
buku Ibnu Taimiah, al-Faqih al Muadzdzab karangan penulis Mesir
Abdurrahman Asy-Syarqawi yang lahir tahun 1920 Masehi atau tahun 1339
Hijriah dan wafat tahun 1980. Abdurrahman Asy-Syarqawi sendiri adalah
seorang syiah yang diketahui mahir membuat naskah drama. Dilihat dari
rentang masa hidup Abdurrahman Asy-Syarqawi yang terpaut 700 tahun
dengan kedua tokoh yang berdialog, besar kemungkinannya percakapan di
atas hanyalah dialog imajiner saja yang direkanya, karena tak ada sumber
referensi yang ia cantumkan. Pencantuman sumber justru pada karangan
Muhammad Hisyam Kabbani sebagaimana tertulis di atas. Itupun mengandung
data yang silang tindih antara satu dan lainnya.
Pertama, bahwa Ibnu Al Athir—yang disertakan sebagai sumber
rujukan—telah Wafat tahun 630 hijriah sedangkan Ibnu Taimiyah baru
dilahirkan tahun 661 Hijriah. Kedua, Ibnu Katsir juga tidak pernah
menyebutkan cerita yang demikian itu. Dalam kitabnya Albidayah Wannihayah disebutkan
bahwa Ibnu taimiyah memang pernah ke Iskandariyah untuk menjalani
hukuman penjara pada tahun 707 Hijriah dan dibebaskan sebelum tahun 709
Hijriah. Beliau sempat kembali mengunjungi Iskandariyah di Mesir pada
bulan Syawal tahun 709 Hijriah, namun Ibnu Athaillah telah Wafat pada
bulan Jumadil Akhir tahun yang sama. Artinya terpaut 4 bulan dari
kedatangan Ibnu Taimiyah ke Mesir. Dalam peristiwa-peristiwa yang
terjadi tahun 707 Hijriah, justru Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Ibnu
Athaillah merupakan seseorang yang melaporkan Ibnu Taimiyah kepada
sulthan sehingga beliau dipenjarakan karenanya. Sedangkan dialog
tersebut sama sekali tidak mengesankan bahwa Ibnu Athaillah pernah
bertemu dan mengusulkan agar Ibnu Taimiyah dipenjarakan.[5]
Sekilas dialog terkesan santun dan egaliter. Namun jika dicermati,
nampak kandungan apriori penulisnya yang lebih memposisikan Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah seperti murid yang mendengar wejangan dari sang
guru. Dalam hal ini, karakter Syeikhul Islam tidak tergambar dengan baik
sebagaimana tercermin dalam kitab-kitab yang beliau tulis serta dari
sikapnya yang gigih dan pemberani dalam mempertahankan keyakinannya,
hingga beliau keluar masuk penjara terhitung 7 kali hingga wafat.
Sementara Ibnu Atthailah nampak di atas angin, lebih banyak bicara dan
menggurui dalam kadar pengetahuan yang sifatnya tergolong dasar.
Termasuk juga paparan beliau tentang Ibn Arabi yang panjang lebar lebih
mirip sebuah wejangan dan hanya ditanggapi oleh Ibn Taimiyah secara
kalem dan minimalis. Sementara dalam kitab-kitabnya, Ibnu Taimiyah telah
menulis sebuah risalah khusus tentang Ibnu Arabi sebagai bantahan
terhadap keyakinannya yang menyatakan bahwa Fir’aun termasuk mukmin.
Terkait paham wahdatul wujud yang dipeluk oleh Ibnu Arabi,
Syaikh Abdurrahman bin Abdul Khalik juga telah menulis sebuah kitab
kecil tentang pertentangan antara ibnu Taimiyah dan Ibnu Arabi.
Pun juga, stigma bahwa Syeikhul Islam seorang pencaci paham sufi
tidaklah sepenuhnya benar. Pada dasarnya beliau bukan seorang yang anti
sufi sama sekali. Dalam Majmû Fatâwa beliau menuliskan perihal
sufisme dalam citra yang positif. Beliau menuliskan: bahwa kaum sufi
adalah mereka yang berkonsentrasi untuk ibadah menjalani kezuhudan di
dunia. Mereka adalah orang-orang yang memandang bahwa seorang Sufi
adalah orang yang bersih (hatinya) dari kotoran, dipenuhi dengan
tafakur, dan yang menjadi sama baginya nilai antara emas dan batu. Dan
sufi yang demikian itu beliau sebut sebagai Sufi hakiki (shufiyyah al-haqa’iq).
Menurut beliau, seorang sufi hakiki haruslah memenuhi 3 syarat.
Pertama, ia harus mampu melakukan “keseimbangan syar’i”, yaitu dengan
menunaikan yang fardhu dan meninggalkan yang diharamkan. Kedua, ia harus
menjalani adab-adab penempuh jalan ini, yaitu dengan mengamalkan
adab-adab syar’i dan meninggalkan adab-adab yang bernilai bid’ah. Dengan
kata lain, mengikuti adab-adab al-Qur’an dan sunnah Nabi saw. Ketiga,
bersikap zuhud terhadap dunia dengan meninggalkan hal-hal yang tidak ia
butuhkan dan menyebabkannya hidup berlebihan.
Selain sufi hakiki beliau juga menyebut klasifikasi lain yaitu shufiyyah al-arzaq.
Mereka adalah para sufi yang rizkinya bergantung pada harta-harta
sedekah yang diberikan kepada mereka –Ini mirip dengan rahib-rahib Budha
di India dan para ronin di Jepang.
Model sufi yang lain—berdasar pengelompokan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmû Fatâwa—yaitu shufiyyah al-rasm. Yaitu
mereka yang merasa cukup dengan menisbatkan diri sebagai seorang sufi.
Lebih kepada penampilan dan perilaku lahiriah saja, dan bukan
hakikatnya. Menurut Ibnu Taimiyah, mereka ini sama dengan orang yang
merasa cukup berpenampilan seperti ulama, hingga menyebabkan orang bodoh
menyangka mereka benar-benar ulama, padahal sebenarnya bukan.
Kritik Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah lebih kepada praktik asketisme
ekstrim para Sufi yang hanya memberikan perhatian terhadap ranah ruhani
saja, dengan mengabaikan hal-ihwal yang bersifat zhahir. Baginya,
ketimpangan yang terjadi pada salah satu dari sisi ruhani dan zhahiri
akan mengakibatkan munculnya sebuah bid’ah yang bernilai destruktif.
Sementara Islam menyerukan kesalehan masyarakat manusia yang utuh, baik zhahir dan bathin. Seorang Shûfî seyogyanya mampu menyelaraskan amalan hati dengan amalan duniawi. Ia menyebutnya dengan, “Dunia berkhidmat untuk dien (agama).” (baca: Al-Siyasah al-Syar’iyyah).[6]
Sebenarnya, jika Abdurrahman Asy-Syarqawi menempatkan karyanya sebagai
karya sastra—semacam naskah drama, atau bentuk fiksi lainnya—tentu akan
lain soalnya. Oleh karena sastra telah dimaklumi sebagai jalan memutar
bagi seseorang dalam menyampaikan suatu perkara dengan bumbu imajinasi
dan opini subyektifnya –dengan kata lain berbasis pada usaha akal budi
manusia yang terbatas, atau kita menyebutnya kebudayaan. Dalam itu
penulis terlepas dari perangkap-perangkap yang bisa mereduksi nilai
validitas dan otentisitas yang menjadi tanggung jawabnya.(Baca Syarh
al-Aqidah al-Wasithiyah, mengenai tafsir, tahrif, takwil dan
tha’til-pen) [7] Lebih-lebih menyangkut hal-hal ilahiyah yang manusia
lebih sering terjebak dengan arogansi spiritual ketimbang kerendahhatian
dan keterbukaan atas kebenaran. Juga, tidak seharusnya menggunakan nama
Ibnu Taimiyah atau Ibnu Athailah, yang keduanya merupakan imam besar
yang menjadi rujukan mereka yang sedang dalam ghirah memelajari
agama dalam kajian yang lebih spesifik. Karena yang demikian itu
memiliki potensi mengaburkan pemahaman khalayak yang tidak secara
langsung bersinggungan memelajari kitab-kitab monumental karya keduanya.
Akibatnya, lahirlah epigon-epigon gelap yang berkasak-kusuk
menggunjingkan suatu perkara tanpa menilik data dan duduk soalnya.
Wallahua’lam.
———————-
1 Ibnu Athaila, Alhikam, Syarh oleh Abdullah Sarqowi versi pegon
2 Ibnu Taimiyah, Bathal Al-Islah Ad-Diny. Mahmud Mahdi Al-Istambuli. Maktabah Dar-Al-Ma’rifah–Dimasyq
3 Abdurrahman Asy-Syarqawi, Ibnu Taimiah, al-Faqih al Muadzdzab
4 Muhammad Hisyam Kabbani, Islamic Beliefs & Doctrine According to Ahl al-Sunna: A Repudiation of “Salafi” Innovations
5 Dobdob, Dialog rekaan antara Syaikhul Islam dengan Pengarang Al Hikam
6 Abu Miqdad Al Maidany, Tasawuf Ibn Taimiyah
7 Syaikh Muhammad bin Salih al-Utsaimin, Syarh al-Aqidah al-Wasithiyah Li Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah / Buku Induk Aqidah Islam, Darul Haq 1996,