,

,

Minggu, 21 Juli 2013

LAKU TORIQOT HABIB LUTFI SEWAKTU MUDA


Abah Lutfi saat acara maulid Nabi Shollaallahu alaihi wasalam di Pekalongan

Ditengah obrolan ringan penulis kala berkunjung di rumah H. Abdulloh, Gang. 5, Jenggot, Pekalongan, salah satu kawan seangkatan Abah ini menceritakan :

"Dulu sewaktu masih muda salah satu laku toriqoh yang dijalankan Lutfi sebagaimana dituturkan oleh Hasan Baisyah Pekalongan adalah mengumpulkan beras dari para dermawan dan orang - orang kaya untuk dibagikan kepada fakir miskin dan janda-janda, bahkan lutfi muda sendiri yang keliling dengan becak membagikan beras tersebut ke orang-orang, Hasan Baisyah sempat berujar kalau ada dua orang kayak Lutfi pasti warga Pekalongan gak akan pernah kelaparan"

mendengar kisah itu penulis jadi teringat kisah guru toriqoh Abah yakni Simbah Malik, Kedungparuk, Purwokweto.

"Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan kendaraan sepeda, naik becak atau dokar, Syaikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan (Forum silaturrahiem para pengikut Thariqah An-Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah Kedung paruk yang diadakan setiap hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan tawajjuhan)".


Sebuah teladan ulama toriqoh yang wajib kita tiru 
sebagai pengikut Rosulullah saw, 
Mari kita berbagi kawan kepada sesama saudara kita



Mengenal Sifat Para Kekasih Allah



[SERI PENGAJIAN THORIQOH JUM'AT KLIWON]
Wali adalah hamba-hamba yang dicintai oleh Allah Swt. Mereka diangkat menjadi wali bukan karena ibadah mereka ditujukan untuk itu, akan tetapi karena ketaatan dan keiklasannya dalam beribadah. Mereka melakukan ibadah semata-mata karena kesadaran sebagai hamba Allah. Maka mereka mengerti maqomat ubudiyah, dan mengerti ilmu ke-Tuhanan.
Dengan semakin meningkatnya mereka mengenal Allah maka mereka semakin sadar akan kehambaan mereka. Mereka adalah teladan bagi kita semuanya. Sifat-sifat mereka disebutkan oleh Allah dalam Al Quran (Yunus: 62-63):

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

“Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, iaitu orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa bertaqwa”
Ketahuilah bahwa Aulia (para Wali Allah), tidak punya rasa takut kecuali terhadap Allah ta'alaa, karena tidak sekedar kadar keimanannya, dan tidak pula setengah-setengah keimanan dan keyakinannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Tadhoru-nya, ibadahnya, syukurnya, roja’nya itulah yang menjadikan mereka sempurna dalam kehambaannya. Yang kedua mereka tidak mempunyai rasa takut selain pada Allah Swt, karena mereka itu adalah    الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ , orang-orang yang beriman.
Tidak sedikitpun mengambil atsar (merasa ada yang bisa member efek psoitif danalam mendatangkan kebaikan atau menolak keburukan) dari sesuatu selain Allah. Beliau-beliau bisa membedakan mana dorongan nafsunya, mana dorongan imannya. Beliau-beliau tidak tertipu dengan nafsunya sendiri, apalagi oleh Syaithan,

Beliau-beliau sangat  menjauhi kesyirikan, syirik kecilpun sangat mereka hindari. Misalkan disuatu subuh  turun hujan, adzan berkumandang hingga sholat tidak ada yang keluar untuk berjamaah. Setelah selesai sholat dia ngomong; ‘subuh-subuh di undang sholat sama Allah malah pada  tidur’. Tanpa dia sadari dia sudah terperosok pada syirik kecil, bangga dengan amalnya dan mengecilkan yang lain.  Padahal yang lain ada yang bekerja hingga larut malam, ada yang sakit, berat untuk bangun subuh awal.
Demikian pula ketika kita datang kesuatu daerah untuk ceramah, tuan rumah mengatakan kalau di daerah itu masih banyak orang yang meminum minuman keras. Pada waktu naik ke panggung dia ngomong; ‘ masa disini masih banyak orang  minum..’ dengan nada marah. Dia naik ke podium dengan amarah bukan dengan kasih sayang untuk menyadarkan orang lain.  Tanpa sadar dia telah mendahulukan amarahnya. Ibarat seorang tuan rumah yang menyuruh atau mempersilahkan minum kopi yang dihidangkan padahal kopinya sangat panas. Tapi jika mubaligh itu bisa memahami dan menguasai nafsunya maka akan menyampaikan dengan lemah lembut. Ibarat menyuruh minum kopi itu, menunggu setelah dingin dahulu. Karena dalam al Quran sendiri pelarangan dan penyadaran minum khomer itu secara bertahap. Tapi jika panas (mubaligh) dan panas (pendengar; karena tersinggung) apa jadinya dakwah itu.
Nah para wali-wali Allah Swt tidak mungkin seperti itu.  Para beliau paham mana dorongan nafsu dan mana dorongan kasih sayang atau niatan taat kepada Allah. Nafsu itu menurut imam Qusyairi ibara anak kecil, waktu masih kecil kencing sembarangan tetap lucu dan menggemaskan, membuat kita tertawa tetapi ketika makin tumbuh besar usia 6 tahun kencing sembarangan kan membuat ibunya marah.
Selanjutnya yang membuat mereka diangkat oleh Allah menjadi wali karena mereka selalu ingat pada Allah Swt. Nafsu itu jika dituruti akan terus meminta lebih. Jadi para wali-wali Allah sangat menjauhi ajakan nafsu itu.
Nah para wali Allah itu sendalnya saja tidak pernah maksiat apalagi kakinya,  kalau kita kaki kita terperosok kejurang maksiat apalagi sendalnya. Itu  pengandaian saja bagaimana beliau-beliau bisa menahan diri dari menuruti nafsu.
Para aulia menjaga matanya karena merasa disaksikan terus oleh Allah Swt, hatinya tidak pernah suudzon. Para wali-wali Allah lalai lupa sama Allah sekejap saja belia-beliau wajib taubat.  Mata dan mulut itu yang pertam kali busuk saat orang meninggal dunia.

Kunci berikutnya adalah taat kepada orang tuanya, sekalipun orang tua kita bodoh, beda agama sekalipun selama memberitahukan yang baik, ya ikuti. Jangan mentang-mentang beda agama kita bertindak sembarangan. Walaupun beda agama orang tua yang melahirkan kita tetap harus kita hormati. Lebih-lebih seagama. Termasuk mertua sekalipun.

Lihat seperti kisah Uwaisy Al Qarny, kenapa beliau di angkat menjadi wali. Karena taatnya beliau pada orang tua samapai beliau itu hidup pada jaman Nabi tapi beliau tidak pernah bertemu dengan Nabi Saw, karena kesibukannya mengurus ibunya yang sakit, dan siangnya beliau menggembala kambing. Bahkan beliau pernah menggendong ibunya dari Yaman sampai baitillah Al Haram untuk melakukan ibadah haji. Ditempat yang lain Rasulullah Saw, mewasiatkan kepada Sahabat Abu  Bakar untuk menyampaikan salam dan memberikan gamis dan mengamanatkan Sahabat Abu Bakar untuk memintakan doa dari Uwais. Bayangkan Rasulullah Saw sangat tawadhu’nya meminta doa dari Uwais, seoang makhluk paling utama, dan para penghulu dari para Nabi. Meminta doa yang hakikatnya untuk umat, karena beliau sendiri sudah lebih-lebih. Ini pelajaran untuk kita agar rendah hati.
Pada masa Sahabat Abu Bakar belum bisa ditemukan, dan amanat Rasulullah Saw itu baru  bisa disampaikan pada masa Sahabat Umar menjadi Khalifah, beliau sendiri dan Sayidina Ali yang menyampaikan salam dan titipan Rasulullah Saw itu. Karena dalamnya ma’rifatnya Uwais Al Qarni beliau mengenal siapa saja yang datang menghapirinya; katanya: Asalam Alaik Umar bin Khatab amirul mukminin, asalam alaika  Amirul Mukminin Arabi’ Ali bin Abi Thalib. Itu Karena dalamnya ma’rifatnya beliau padahal belum pernah saling bertemu. Karena taatnya pada orang tua Uwais kenal dengan Allah. Karena taatnya pada orang tua Uwais diangkat menjadi wali, bahkan sayid at tabiin. Karena taat dan hormatnya Uwais sampai mendapatkan gamisnya (pakaian) dari Rasulullah Saw Padahal tidak pernah bertemu Beliau SAW

Yang kedua adalah taat Uwais kepada gurunya yang mengenalkan dirinya kepada Allah Ta'alaa.  Guru yang  menuntuk menjauhkan dari kesyirikan. Mana yang menjadi sifat Allah dan mana yang bukan, dan guru yang mengenalkan pada mana yang halal dan mana yang haram. Dan beliau khidmah pada gurunya sehingga menjadi wali. Kita membaca dan mengaji tentang wali dalam kitab ini  bukan untuk menjadi wali tapi untuk meniru mereka, dalam tingkah laku. Mudah-mudahan kita mendapatkan keberkahan doa belia-beliau, dan juga keturunan-keturunan kita semua. Inysa Allah doa yang kita mohonkan pada Allah pada akhir majlis akan di Ijabah oleh Alla Swt. Wallah A’lam. (Fdi/Tsi) 

source: 

KATA - KATA BIJAK SANG SUFI, AL ARIF BILLAH MAULANA HABIB LUTFI PEKALONGAN (BAG. I)


"Perselisihan para ulama fiqih ibarat biji mangga, tumbuh bercabang kemudian menumbuhkan ranting, dari ranting kemudian muncul dedaunan dan buah - buahan yang memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda"

"Rahasia Allah terletak pada makhluk-Nya"

"Sesama wali qutub meski memiliki pangkat kewalian yang sama tetapi memiliki sirr atau rahasia yang berbeda, salah satu hikmahnya adalah agar tidak ada kecemburuan di antara makhluk Allah"

"Jangan sekali - kali melupakan guru yang telah mengenalkanmu dohir - dohir syariat terlebih guru mursyidmu yang telah membimbingmu menuju Allah, salah satu sebab kenapa aku memperoleh derajat terhormat saat ini adalah karena aku sangat menghormati guru-guruku"

"Rizki itu ada dua, Tajrid dan Kasbi, rizki Tajrid diperoleh tanpa melalui ikhtiar, inilah karunia yang Allah berikan kepada para Auliya' (kekasih Allah) sedang rizki Kasbi didapat melalui proses ikhtiar"

"Rizki itu ibarat tangki mobil, sudah ada takarannya, gak bisa dilebihkan atau dikurangi, kalau dilebihkan bisa-bisa luber dan kalau dikurangi bisa-bisa pengemudi tidak sampai ke tujuan"

"Jangan kau akui keilmuwan seorang alim yang suka mencerca para Auliya dan ulama"

"Qona'ah dan Zuhud adalah pakaian tani yang kita gunakan untuk menggarap lahan di sawah, pelindung dari kotoran-kotoran dan lumpur yang bisa menodai tubuh kita kala menggarap lahan, begitulah kaum sufi memandang dunia, mereka tetap bekerja, ikhtiar mencari rizki dengan bersikap Qona'ah dan Zuhud agar kotoran dunia tidak mengotori hati mereka yang bersih"

"Anda keliru jika menyangka para ulama sufi tidak kaya, Al Imam Abul Hasan Asy Syazali memiliki empat ekor kuda paling mahal di masanya, kereta kudanya memiliki dua roda yang dihiasi mutiara dan batu mulia, tapi tidak sedikitpun kemegahan kereta kuda itu mengisi relung hatinya, bahkan ketika ada orang yang takjub akan kemegahan kereta kudanya dan sangat menginginkan apa yang dimiliki sang sufi, Asy Syazali lantas memberikan kereta kudanya untuk orang tersebut"

"Tidak usah memikirkan kekeramatan, yang penting kalian mendalami sekaligus mengamali secara benar dohir-dohir syariat"

"Aku tidak pernah belajar komunikasi dengan arwah di alam barzakh, aku bisa karena memiliki mahabah kepada meraka, ilmu seperti itu tidak usah dipelajari, berbahaya, karena kalian belum bisa membedakan mana arwah para wali dan mana arwah yang merupakan jelmaan iblis"

"Hikmah di balik tanaman yang diletakan di atas kuburan adalah untuk meringankan azab si ahli kubur karena selama tanaman itu masih hijau, dia bertasbih memuji-Nya, hal inilah yang menjadi sebab turunnya rahmat diringankan siksaan si ahli kubur"

"Kasih sayang seorang wali itu sama seperti kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, bahkan mereka rela menanggung azab yang turun di umat mereka, begitulah sifat para auliya"

(di sarikan dari pengajian rutin Al Arif Billah Maulana Habib Lutfi Pekalongan selama ramadhan 1434 H)




MACAM MACAM TINGKATAN NAFSU



Pertama nafsu amarah (akan selalu menyeru berbuat jahat, Surat Yusuf ayat 53) adalah tingkatan nafsu manusia yang terendah: sifat dan watah manusia pada tingkat ini sangat buruk. Ciri-ciri (QS 10:53): orangnya gampang tersinggung, selalu marah-ma­rah, merasa benar sendiri atau tidak mau kalah, dendam, ringan tangan, nafsu seksual tidak terken­dali, tidak ada pengendali dalam diri (norma/etika). 

Kedua, nafs law­wamah (pencela/Surat Al Qiyamah ayat 2), yang setingkat le­bih baik daripada nafs amarah, tapi, diri belum stabil, karena terkadang ia/dia kembali jatuh ke tingkat nafsu amarah. Ciri-ciri (QS 75:2): tidak stabil, setelah menjadi baik, bahkan mengajak orang untuk baik, setelah ada ujian/godaan sedikit saja masih kembali ke asal (maksiat)/tidak sabar.

Ketiga, nafsu mulhimah, adalah telah cukup mengetahui tentang kebenaran (al-haq) dan kesalahan (al-bathil), tapi, belum mampu untuk melaksanakan dengan/secara baik karena kelema­han­nya. Ciri-cirinya (QS 91:8): telah mengetahui kebathilan dan atau kemaksiatan tapi tetap mela­ku­kannya dengan kesadaran, telah mengetahui kebenaran tapi, tidak ada kemauan melaksanakannya. 

Keempat, nafsu muthmainah (te­nang, Surat al-Fajr ayat 27-28), pada tingkatan ini orang telah dijanjikan Allah SWT masuk ke dalam surga-Nya. Ciri-cirinya (QS 89:27-30): Jiwa tenang, kem­bali kepada Rabbnya dengan hati puas, kepribadian mantap menger­jakan perintah Allah, mening­gal­kan larangan, tak mudah ter­penga­ruh/istiqamah. 

Kelima, nafs radhiah, pada tingkatan ini ma­nusia setingkat di atas nafs mu­thmainah,ditambah rasa ikhlas/penyerahan diri total pada Allah, kesusahan/musibah/tantangan menjadi nikmat baginya. Ciri-ciri (QS 2:45; dan QS 3:146): penuh ketakwaan, menerima segala ujian/musibah/tantangan dgn keikhlasan dan penuh kesabaran (tidak lemah, tidak lesu dan tidak menyerah).

Keenam, nafsu mardhiah, pada tingkatan ini manusia berada setingkat lagi di atas nafsu radhiah. Baginya, sesuatu yang sunnah dilaksanakannya seakan ibadat itu juga yang (nyaris sama de­ngan) diwajibkan dan memperla­kukan hal-hal yang subhat sebagai haram. Ciri-cirinya (QS 3:104; dan QS 19:97): Semua yang dimi­li­ki pada tingkatan nafsu radhiah ditambah mempunyai daya me­lak­sanakan/menegakkan amal ma’ruf nahi dan mungkar secara sejati, menjadi pemberi peringa­tan dan atau berita gembira. 

Ketujuh, nafsu kamilah. Manusia pada tingkatan nafsu yang sem­pur­na, ini hanya dimiliki oleh setingkat para Nabi dan para Rasul: nafs yang sudah berada pada tingkat penyerahan diri secara totalitas dengan pengabdian pada Allah. Ciri-ciri (QS 3:110; QS 33:21): memiliki sifat utama para Nabi/Rasul: siddiq (jujur/benar), amanah(dipercaya), fathonah (cerdas), dan tabligh (menyam­pai­kan).

Ayo Perbanyak Solawat

download win hisab versi 2.96 via ziddu

SARKUB TECH MELEK IPTEK

UNIVERSITAS MENYAN INDONESIA

Santri

PISS - KTB

Total tayangan laman

4