,

,

Senin, 26 November 2012

SULUK & PENGERTIANNYA


Suluk berarti memperbaiki akhlak, mensucikan amal, dan menjernihkan pengetahuan. Suluk merupakan aktivitas rutin memakmurkan lahir dan batin. Segenap kesibukan hamba hanya ditujukan kepada Sang Rabb, bahkan ia selalu disibukkan dengan usaha-usaha menjernihkan hati sebagai persiapanuntuk sampai kepada-Nya (wusul).


Ada dua perkara yang dapat merusak usaha seorang salik (pelaku suluk), yaitu pertama, mengikuti selera orang-orang yang mengambil aspek-aspek yang ringan dalam penafsiran dan kedua, mengikuti orang-orang sesat yang selalu menurut dengan hawa nafsunya. Barangsiapa yang menyia-siakan waktunya,maka ia termasuk orang bodoh. Dan orang yang terlalu mengekang diri dengan waktu maka ia termasuk orang lalai. Sementara orang yang melalaikannya, dia adalah orang-orang lemah.Keinginan seorang hamba untuk melakukan laku suluk tidak dibenarkan kecuali ketika ia menjadikan Allah Swt. dan Rasul-Nya sebagai pengawas hatinya. Siang hari ia selalu puasa dan bibirnya pun diam terkatup tanpa bicara, sebab terlalu berlebihan dalam hal makan, bicara, dan tidur akan mengakibatkan kerasnya hati. Sementara punggungnya senantiasa terbungkuk rukuk, keningnya pun bersujud, dan matanya sembab berlinangan air mata. Hatinya selalu dirundung kesedihan (karena kehinaan dirinya dihadirat-Nya), dan lisannya tiada henti terus berzikir.

Dengan kata simpul, seluruh anggota tubuh seorang hamba disibukkan demi untuk melakukan suluk. Suluk dalam hal ini adalah segala yang telah dianjurkan oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya dan meninggalkan apa yang dibenci olehnya. Melekatkan dirinya dengan sifat wara' meninggalkan segala hawa nafsunya, dan melakukan segala hal yang berkaitan erat dengan perintah-Nya. Semua itu dilakukan dengan segala kesungguhan hanya karena Allah Swt., bukan sekadar untuk meraih balasan pahala, dan juga diniatkan untuk ibadah bukan hanya sekadar ritual kebiasaan. Karena sesungguhnya orang yang Asyiq dengan amaliahnya, tidak lagi memandang bentuk rupa zahir amalan itu, bahkan jiwanya pun telah menjauh dari syahwat keduniaan. Maka satu hal yang benar adalah meninggalkan segala bentuk ikhtiar sekaligus menenangkan diri dalam hilir mudik takdir Tuhan.

Dalam sebuah syair dinyatakan;

Aku ingin menemuinya,
Namun Dia menghendakiku untuk menghindar
Lalu kutanggalkan semua hasratku
Demi apa yang Kaukehendaki

Sirnakan semua makhluk darimu dengan hukum Allah Swt. dan binasakan hawa nafsumu atas perintah-Nya. Demikian halnya, tanggalkan seluruh hasratmu demi perbuatan-perbuatan-Nya (af'al). Dengan demikian, maka kau telah mampu menangkap ilmu Allah Swt.

Kebebasanmu dari ketergantungan dengan makhluk ditandai dengan perpisahanmu dengan mereka, kau tidak akan kembali dengan mereka, dan
kau pun tidak akan menyesali semua yang ada dalam genggaman mereka. Adapun tanda kebebasanmu dari hawa nafsu adalah dengan tidak memasang harapan yang beriebihan dari semua usahamu, dan tidak pula bergantung dengan urusan kausalitas untuk meraih sebuah kemanfaatan ataupun untuk menghindari kebinasaan. Maka kau jangan hanya bergulat dengan dirimu sendiri, jangan terlalu percaya diri, jangan mencelakan atau membahayakan dirimu sendiri. Namun, pertama-tama yang harus kau lakukan adalah menyerahkan semuanya pada Yang Berhak, agar Dia berkenan memberikan kuasa-Nya kepadamu. Seperti kepasrahanmu kepada-Nya saat kau berada dalam rahim ibumu, atau saat kau masih dalam susuan ibumu.

Sementara, tanggalnya seluruh hasrat iradah-mu. lebur dalam iradah-Nya ditandai dengan tidak adanya sifat menghendaki dalam dirimu (murid), dalam hal ini kau hanyalah sebagai obyek yang dikehendaki (murad), bahkan dalam setiap lakumu ada intervensi aktivitas-Nya maka jadilah kau sebagai obyek yang dikehendaki-Nya. Adapun aktivitas-Nya menempati semua anggota ragamu, mententramkan jiwa, melapangkan dada, menyinari wajahmu, dan memeriahkan suasana batinmu. Takdir menjadi nuansa dalam hatimu, azali senantiasa akan menyerumu. Rabb yang Maha Menguasai mengajarimu dengan ilmu-Nya, menyematkan pakaian untukmu dari cahaya
hulul, dan memposisikanmu pada derajat generasi orang terdahulu di antara para ulama yang saleh (ulu al-'ilm).

source : Mi'raj as-Salikin, Imam Al Gazali
Alfalah.or.id

NOSTALGIA KISAH MASA LALU


Mengenang dan bernostalgia tentang dia
dia yang kini telah tergantikan dengan Dia dan panutanku Kanjeng Nabi, 
dia yang kini hanya menjadi secercah sinar yang pernah mengisi kekosongan hati ini ... dia bisa berubah kapanpun tapi Dia tak pernah berubah, cukup, Dia adalah kekasihku paling setia

SURAT UNTUK KANJENG NABI MUHAMMAD (BAG. 4)


Ya Nabi, salawat dan salamku untukmu hingga akhir zaman

Ya Nabi, dalam kerendahan aku memohon bisa hadir di hadapanmu secara batin

Ya Nabi, dengan segala khilaf aku mohon bisa menapaki sunnahmu, mengikuti jejakmu dan akhlak luhurmu

Ya Nabi, bantulah jiwa yang lemah ini, yang sering menuruti nafsu ini untuk selalu taat kepada-Nya

Ya Nabi, ingin sekali bisa menziarahimu di masjid nabawi sana, mendengar petuah-petuahmu dan mengisi relung jiwa hati ini dengan untaian sabdamu

Ya Nabi, pengin banget ku cium tanganmu dan mendekapkan tanganmu ke hati ini agar bisa diisi dengan relung - relung kebaikan, mencintai sesama manusia dan alam

Ya Nabi rekatlah hati ini pada para penerusmu orang-orang yang saleh, terkhusus kepada mursyidku Abah Lutfi dan gurunya Simbah Malik, begitu juga guru guru Simbah Malik

Ya Nabi, matur suwun sudah berkenan rawuh di kalbu yang dirundung rindu ini. Solawat dan salamku untukmu selalu sebanyak tarikan nafas seluruh makhluk Allah di bumi


Dengan kerendahan dan pengharapan bisa bertemu
Kanjeng Nabi Sollallahu 'Alaihi Wasallam
ditulis disamping kantor MA Tarbiyatul Banin, desa Pekalongan, kec. Winong, kab. Pati
Senin malam 26 November 2012 pukul 21.25 WIB
 

PENGAJIAN KITAB AL HIKAM DI RADIO NU



Yang mau ngaji Syarhul Hikam karya Ibnu Athoillah ma KH. Imron Djamil monggo kerso rawuh ke website ini
jadwal pengajiannya jam 16.00 s/d 18.00 WIB

NB :
JADWAL DAPAT BERUBAH SEWAKTU WAKTU TANPA PEMBERITAHUAN

MENJADI MUKMIN YANG SESUNGGUHNYA

“Katakanlah, jika kamu mencintai Allah...”
(Ali Imrân: 31).

Ketika ayat ini turun, seorang sahabat bertanya kepada Baginda Nabi Muhammad (saw), “Mâtta akuunu mu’minan shâdiqan?” atau “Bilamanakah aku menjadi mukmin yang sesungguhnya?” Dijawab oleh Baginda Nabi (saw), “Idza ahbabtallâh,” atau “Apabila engkau mencintai Allah.”

Selanjutnya sahabat itu bertanya lagi, dan dijawab oleh Rasuluflah (saw), “Orang itu mencintal Rasul-Nya. Berikutnya mengikuti sunnah-sunnahnya, dan mencintai orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya”

Dan akhirnya, Nabi Muhammad (saw) bersabda lagi, “Wâyatawaffatuna fil- ‘Imâni qadri tawannutihim fi mahabati,” atau “Dan keimanan mereka bertingkat-tingkat menurut tingkatan kecintaan kepada Allah.” Itu diucapkan sampai tiga kali oleh Rasulullah (saw). Hadits itu melanjutkan bahwa kadar bobot iman seseorang, tergantung pada kecintaannya kepada Nabi Muhammad (saw). Sebaliknya kadar kekafiran seseorang juga tergantung pada kebenciannya kepada beliau (saw). Kalau kecintaannya kepada Rasulullah (saw) bertambah, keimanannya kepada Allah (Swt) pun akan bertambah.

Bertambah dalam arti bersinar, bercahaya, dan semakin menerangi hidupnya. Maka, apabila kita melihat ayat,
“Katakanlah Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampunimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
(Ali Imrân: 31).
Lalu bagaimanakah cara mencintai Allah dan apa yang terkandung di dalam makna mencintai tersebut? Jawabannya, di antaranya bahwa Allah dan Rasul-Nya jelas tidak bisa dipisah-pisahkan. Kalau seseorang mencintai Allah, pasti dan harus mencintai Nabi-Nya. Dan tentu saja, dia akan menjalankan sunnah serta mencintai orang yang dicintai Rasul-Nya. Di sinilah pengertian tarekat yang sebenarnya, yakni untuk membimbing orang itu mencapai keimanan sempurna.

Keimanan terbentuk secara terbimbing. Di situlah peran para mursyid, sehingga tingkatan tauhid kita, makrifat kita, tidak salah dan tidak sembarangan menempatkan diri, sebab ada bimbingan dari mursyid tersebut. Bagaimana orang yang tidak bertarekat? Saya jelaskan dulu, syaratnya bertarekat itu harus tahu syariat dulu. Artinya, kewajiban-kewajiban yang harus dimengerti oleh individu sudah dipahami. Di antaranya, hak Allah (Swt): wajib, mustahil, dan jaiz (berwenang). Lalu hak para rasul, apa yang wajib, mustahil, dan jaiz bagi mereka.

Setelah kita mengenal Allah dan Rasul-Nya, kita meyakini apa yang disampaikannya. Seperti rukun Islam, yaitu membaca syahadat, mengerjakan shalat, melaksanakan puasa, berzakat bagi yang cukup syaratnya, serta naik haji bagi yang mampu. Begitu juga kita mengetahui rukun iman, serta beberapa tuntunan Islam seperti shalat, wudhu’, dan lainnya
Namun Anda harus bisa membedakan, orang yang menempuh jalan kepada Allah dengàn sendirian, tentu tidak sama dengan orang yang menempuh jalan kepada Allah bersama-sama, yaitu melalui seorang mursyid. Kalau kita mau menuju Mekkah, sebagai satu contoh, seseorang yang belum mengenal Makkah al-Mukarramah dan Madinah al Munawwarah, tentu berbeda dengan orang yang datang ke dua tempat tersebut dengan disertai pembimbing atau mursyid.

Orang yang tidak mengenal sama sekali kedua tempat itu, karena meyakini berdasarkan informasi dan kemampuannya, sah-sah saja. Namun orang yang disertai mursyid akan lebih runtut dan sempurna, karena si pemimbing tadi sudah berpengalaman dan akan mengantar ke rukun zamani, sumur zamzam, makam Ibrahim, dan lainnya. Meski seseorang itu sudah sampai di Ka’bah, namun kalau tidak tahu rukun zamani, dia tidak akan mampu untuk memulal tawaf, karena tidak tahu bagaimana memulainya. Itulah perbedaannya.
posted by Lukman Harun @ 20:01

source :
http://habibluthfi.blogspot.com/2007/12/muslim-bertarekat-dan-tidak-bertarekat.html 

CONTOH HADITS MUSALSAL BIL AWWALIYAH TENTANG KASIH SAYANG & PERDAMAIAN



بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين، ولا عدوان إلا على الظالمين، والصلاة و السّلام على رسولنا محمد وعلى آله و أصحابه أجمعين .

السلام عليكم و رحمة الله و بركاته.
مما من الله عز وجل به علي من سماع حديث رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ومن جملة ما سمعت
حديث الرحمة المسلسل بالأولية وقد سمعته عن جماعة من المحدثين منهم
فضيلة الشيخ وحيد بن عبد السلام بن بالي حفظه الله - وهو أول حديث سمعته منه -
قال حدثنا الشيخ حامد بن أحمد بن أكرم بن محمود بن علي الهاشمي البخاري المدني وهو
أول حديث سمعته منه ، قال حدثنا السيد محمد الأمين بو خبزة وَهُوَ أَوَّلُ حَدِيْثٍ
سَمِعْتهُ منْهُ، قال: حدثنا السيد محُمََّدٌ عَبْدُ الحَْيِّ بْنُ عَبْدِ الْكَبِيْرِ الْكَتَّانِيُّ الحَْسَنِيُّ
الإِدْرِيْسِيُّ المَْغْرِبِيُّ الْفَاسِيُّ المَْالِكِيُّ ( 1300 1382 ) ، وَهُوَ أَوَّلُ حَدِيْثٍ سَمِعْتُهُ
مِنْهُ . قَالَ : ثَنا الشِّهَابُ أَحمَْدُ الجَْمَلُ النّهْطِيْهِيُّ المِْصْرِيُّ (تُ نَحْو 1320 ) ،
وَهُوَ أَوَّلُ حَدِيْثٍ سَمِعْتُهُ مِنْهُ . قَالَ : ثَنيِ بِهِ شَيْخَُنا الْبَهِيُّ الطَّنْدَتَائِيُّ هُوَ بَهَاءُ
الدِّيْنِ محَُمَّدٌ عَِليٌّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ يُوْسُ فَ بْنِ أَحمَْدَ الْبَهِيُّ المُْرْشِدِيُّ المَْالِكِيُّ الطَّنْتَدَائِيُّ
الأَزْهَِريُّ المِْصْرِي ( ت 1260 ) وَهُوَ أَوَّلُ حَدِيْثٍ سَمِعْتُهُ مِنْهُ . قَالَ : ثَنَا الحَْافِظُ
مُرْتَضَى الزَّبِيْدِيُّ هُوَ السَّيِّدُ / أَبُوْ الْفَيْضِ محُمََّ د مُرْتَضَى بْنُ محُمََّدِ بْنِ محُمََّدِ بْنِ
محُمََّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ الحُْسَيْنيُِّ الْوَاسِطِيُّ الْعِرَاقِيُّ أَصْلاً الهِْنْدِيُّ مَوْلِدًا الزَّبِيْدِيُّ
تَعَلُّمًا وَ شُهْرَةً المِْصْرِيُّ وَفَاةً الحَْنَفِيُّ ( 1145 1205 ) وَ هُوَ أَوَّلُ حَدِيْثٍ سَمِعْتُهُ
مِنْهُ . قَالَ : ثَنِي بِهِ المُْعَمَّرُ دَاوُدُ بْنُ سُلَيْمَانَ الخْربتاوِيُّ هُوَ دَاوُدُ بْنُ سُلَيْمَانَ بْنِ أَحْمَدَ
بْنِ محُمََّدِ بْنِ عُمَرَ بْنِ عَامِرِ بْنِ خِضْرٍ الشَّرْنُوْبِيُّ الْبُرْهَانِيُّ الخْربتاوِيُّ المَْالِكِ ي
1080 1170 ) ، وَ هُوَ أَوَّلُ حَدِيْثٍ سَمِعْتُهُ مِنْهُ . قَالَ : ثَنَا المُْعَمَّرُ شَمْسُ الدِّيْنِ )
الْفَيُّوْمِيُّ، وَهُوَ أَوَّلُ حَدِيْثٍ سَمِعْتُهُ مِنْهُ . قَالَ : ثَنَا السَّيِّدُ / يُوْسُفُ الأَرْمَيُوْنِيُّ هُوَ
جمَالُ الدِّيْنِ يُوْسُ ف بْنُ عَبْدِ اللهَِّ الحَْسَنِيُّ الأرَْمَيُوْنِيُّ الشَّافِعِيُّ ( ت 958 ) ، وَهُوَ
أَوَّلُ حَدِيْثٍ سَمِعْتُهُ مِنْهُ . قَالَ : ثَنا جَلاَلُ الدِّيْنِ السُّيُوْطِيُّ هُوَ أَبُوْ الْفَضْلِ عَبْدُ
الرَّحمَْنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ بْنِ محُمََّدٍ الخُْضَ يريُّ السُّيُوْطِيُّ الِمْصْرِيُّ الشَّافِعِيُّ ( 849 911 )
، وَ هُوَ أَوَّلُ حَدِيْثٍ سَمِعْتُهُ مِنْهُ . قَالَ : ثَنيِ بِهِ أَبُوْ هُرَيْرَةَ ابْنُ المُْلَقِّنِ هُوَ جَلاَلُ
الدِّيْنِ عَبْدُ الرَّحمَْنِ بْنُ نُوْرِ الدِّيْنِ أَبِي الحَْسَنِ عَلِيِّ بْ ن سِرَاجِ الدِّيْنِ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ
بْنِ عَِليِّ ابْنِ المُْلَقِّنِ ( 790 870 ) ، وَهُوَ أَوَّلُ حَدِيْثٍ سَمِعْتُ هُ مِنْهُ . قَالَ : ثَنَا
جَدِّي هُوَ سِرَاجُ الدِّيْنِ أَبُوْ حَفْصٍ عُمَرُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ أَحْمَدَ بْنِ محَُمَّدٍ الأَنْصَارِيُّ
الأنَْدَلُسِيُّ الأصَْلُ ثُمَّ المْصِْرِيُّ نَزِيْلُ الْقَاهِرَِة الشَّافِعِيُّ المُْلَقَّبُ بِابْنِ المُْلَقِّنِ نِسْبَةًِ لزَوْجِ
أُمِّه ( 723 804 ) ، وَ هُوَ أَوَّلُ حَدِيْثٍ سَمِعْتُهُ مِنْهُ . قَالَ : ثَناَ أَبُو الْفَتْحِ المَْيْدُوْمِيُّ
هُوَ صَدرُ الدِّيْنِ أَبُو الْفَتْحِ محُمََّدُ بْنُ محُمََّدِ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ أَبِي الْقَاسِمِ ابْنِ عَنَانَ
المَْيْدُوْمِيُّ الْبَكْرِيُّ المِْصْرِيُّ ( 664 754 ) ، وَ هُوَ أَوَّلُ حَدِيْثٍ سَمِعْتُهُ مِنْهُ .
{ح} وقال الحافظ الجلال السيوطي في بغية الوعاة في طبقات اللغويين
والنحاة: حدثنا شيخنا الإمام تقي الدين أحمد بن محمد الشمني من لفظه (وهو
أول حديث سمعته منه)حدثنا ناصر الدين سليمان بن عبد الناصر الأبشيطي
(وهو أول حديث سمعته منه) حدثنا أبو الفتح محمد بن محمد بن إبراهيم
الميدومي (وهو أول حديث سمعته منه) قَالَ : ثَناَ أَبُوْ الْفَرَجِ الحَْرَّانِيُّ هُوَ نَجِيْبُ
الدِّيْنِ أَبُوْ الْفَرَجِ عَبْدُ اللَّطِيْفِ بْنُ عَبْدِ المُْنْعِمِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ نَصْرِ بْنِ مَنْصُوْرِ بْنِ
الصَّيْقَلِ الحَْرَّانِيُّ الحَْنْبَلِيُّ التَّاجِرُ ( 587 672 ) ، وَ هُوَ أَوَّلُ حَدِيْثٍ سَمِعْتُهُ مِنْهُ .
قَالَ : ثَنَا أَبُوْ الْفَرَجِ ابْنُ الجَْوْزِيِّ هُوَ جمَالُ الدِّيْنِ أَبُوْ الْفَرَجِ عَبْدُ الرَّحمَْنِ بْ نُ عَِليِّ بْنِ
محُمََّدِ بْنِ عُبَيْدِ اللهَِّ ابْنِ الجَْوْزِيِّ التَّيْمِيُّ الْبَكْرِيُّ الْبَغْدَادِيُّ الحَْنْبَلِيُّ الْوَاعِ ظُ
509 597 ) ، وَ هُوَ أَوَّلُ حَدِيْثٍ سَمِعْتُهُ مِنْهُ . قَالَ : ثَنَا أَبُوْ سَعْدٍ إِسْمَاعِيْلُ بْنُ )
أَبِي صَالِ ح النَّيْسَابُوْرِيُّ المَْشْهُوْرُ بِالْ كرْمَانِيِّ ( 451 532 ) ، وَ هُوَ أَوَّلُ حَدِيْثٍ
سَمِعْتهُ منْهُ . قَالَ : ثَنِي وَالِدِي هُوَ أَبُو صَالِحٍ أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ المَْلِكِ بْنِ عَِليِّ بْنِ أَحْمَدَ
بْنِ عَبْدِ الصَّمَدِ بْنِ بَكْرٍ ا لمؤَذِّنُ النَّيْسَابُوْرِيُّ الحَْافِظُ ( 388 470 ) ، وَهُوَ أَوَّلُ
حَدِْيثٍ سَمِعْتهُ منْهُ . قَالَ : ثَنَا أَبُوْ طَاهِرٍ ابْنُ محُمََّدِ بْنِ محَمِْشٍ الزِّيَادِيُّ هُوَ أَبُوْ
طَاهِرٍ محُمََّدُ بْنُ محُمََّدِ ابْنِ محَمِْشٍ الزِّيَادِيُّ الشَّافِ عيُّ النَّيْسَابُوْرِيُّ الأدَِيْبُ
317 410 ) ، وَ هُوَ أَوَّلُ حَدِيْثٍ سَمِعْتُهُ مِنْهُ . قَالَ : ثَنَا أَبُوْ حَامِدٍ أَحمَْدُ بْنُ محُمََّدِ )
بْنِ يحَْيَى بْنِ بِلاَلٍ الْبَزَّازُ النَّيْسَابُوْرِيُّ المَْعْرُوفُ بِالخَْشَّابِ (ِفي حُدُْوِ د 240 330 )
، وَ هُوَ أَوَّلُ حَدِيْثٍ سَمِعْتُهُ مِنْهُ . قَالَ : ثَناَ عَبْدُ الرَّحمَْنِ بْنُ بِشْرِ بْنِ الحَْكَمِ بْنِ
حَبِيْبٍ الْعَبْدِيُّ النَّيْسَابُوْرِيُّ (بَعْدَ 180 260 ) ، وَ هُوَ أَوَّلُ حَدِيْثٍ سَمِعْتُهُ مِنْهُ .
قَالَ : ثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَ يْنَةَ هُوَ أَبُوْ محُمََّدٍ الهِْلالِيُّ مَوْلاهَُمُ الْكُوْفِيُّ ثُمَّ المَْكِّيُّ
107 198 ) ، وَهُوَ أَوَّلُ حَدِيْثٍ سَمِعْتُهُ مِنْهُ . _ وَ إِلَيْهِ يَنْتَهِي التَّسَلْسُلُ بِالأَوَّلِيَِّة )
عَن عمَْروِ بْن ديِنَْار هُو أبَُو محُمََّدٍ الجُْمَحِيُّ مَوْلاهَُمُ المَْكِّيُّ الأَثْرَمُ
45 أَوْ 46 126 ) ، عَنْ أَبِي قَابُوْسَ مَوْلَى عَبْدِ اللهَِّ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ ، عَنْ عَبْدِ )
( اللهَِّ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهَُّ عَنْهُمَا هُوَ أَبُوْ محُمََّدٍ الْقُرَشِيُّ السَّهْ مِيُّ ( ت 65
أَنَّهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهَِّ صَلى اللهَُّ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ :
" الرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ، اِرْحَمُوْا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْ حمكُمْ مَنْ فِي السَّماِء "
قلت : وقد صح السماع لي - أيضا من طرق أخرى للحديث فقد سمعته من الشيخ إسماعيل الشرقاوي حفظه الله - وهو أول حديث سمعته منه- بالإسناد المتصل
كما سمعته من الشيخ محمد الديب وهو أول حديث سمعته منه قال : ثنا الشيخ حسن بن محمد مرعي وهو أول حديث سمعته منه قال ثنا الشيخ أحمد بن عبد الفتاح غنيم وهو أول حديث سمعته منه قال ثنا الشيخ وحيد عبد السلام بالي وهو أول حديث سمعته منه قال حدثني الشيخ أسامة بن السيد عبيد - وهو أول حديث سمعته منه - بالسند المتصل ...
وأرويه بالسماع أيضا من الشيخ أسامة بن السيد بن عبيد حفظه الله تعالى - وهو أول حديث سمعته منه بإسناده المتصل .
كما أرويه بالإجازة العامة عن الشيخ أبو الحجاج يوسف آل علاوي ...بسنده

.................................................. .

أكثر الروايات برفع يرحمكم على أنه جملة دعائية ، وفي بعضها بالجزم على أنه جواب الأمر .
تخريج الحديث
والحديث أَخَْرجَهُ أَحْمَدُ ( ج 11 /ص 33 /ح 6494 ط 1 مُ ؤَسَّسَةُ الرِّسَالَةِ ) ،
وَأَبُوْ دَاوُدَ : كِتَابُ الأدَ ب، بَابٌ فِي الرَّحمَْةِ ( ص 740 /ح 4941 ط 1 مَكْتَبَةُ
المَْعَارِفِ بِالرِّيَاضِ ) ، وَ التِّرْمِذِيُّ وَ اللَّفْظُ لَهُ : كِتَابُ الْبِرِّ وَ الصِّلَةِ عَنْ رَسُوْلِ اللهَِّ
صَلَّى اللهَُّ عَلَْي هِ وَ سَلَّ م، بَابُ مَا جَاءَ فِي رَحمَْةِ النَّاسِ ( ص 439 /ح 1924 ط 1
مَكْتَبَةُ المَْعَارِ ف بِالرِّيَاضِ ) ، وَ غَيْرُهُمْ ، وَ قَالَ التِّرْمِذِيُّ : هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ
صَحِيْحٌ .
* وَصَحَّحَهُ الحَْاكِمُ وَالذَّهَبِيُّ وَالْعِرَاقِيُّ وَابْنُ نَاصِرِ الدِّيْنِ الدِّمَشْقِيُّ وَابْنُ حَجَرٍ
وَالسَّخَاوِيُّ وَغَيْرُهُمْ ، وَلَهُ شَوَاهِدُ كَثِيَْرةٌ .
وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
sumber
http://forum.kooora.com/f.aspx?t=27689160

Ayo Perbanyak Solawat

download win hisab versi 2.96 via ziddu

SARKUB TECH MELEK IPTEK

UNIVERSITAS MENYAN INDONESIA

Santri

PISS - KTB

Total tayangan laman

4